Hasil Pemilu dan Khilafah Jalan Baru Dunia, termasuk Indonesia
Sebagian orang masih menganggap, bahwa pemilu adalah jalan perubahan. Karena, melalui pemilulah, mandat bagi penyelenggara negara itu diperbarui, baik bagi mereka yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif. Namun, bagi yang percaya bahwa pemilu merupakan jalan perubahan, kini harus gigit jari.
Pemilu kali ini, setidaknya berdasarkan perhitungan Quick Count LSI, menunjukkan, bahwa Partai Demokrat mendapatkan 20.27% suara, diikuti Golkar: 14.87% suara, PDIP: 14.14% suara, PKS: 7.81% suara, PAN: 6.05% suara, PPP: 5.32% suara, PKB: 5.25% suara, Gerindra: 4.21% suara, Hanura: 3.61% suara dan PBB: 1.65% suara (TVOne, 9/4/2009). Dengan hasil seperti ini, terbukti bahwa pemilu tidak membawa perubahan, bahkan semakin mengokohkan partai pemerintah, yaitu Partai Demokrat, Golkar, dan koalisi partai pemerintah, seperti PKS, PPP, PKB dan PBB.
Meski, dibayangi sejumlah masalah, mulai dari golput yang mencapai 40% dari 171.068.667 pemilih, kisruh DPT (daftar pemilih tetap) hingga kerusuhan di Abepura, Papua, namun hajatan demokrasi itu akhirnya toh tetap berjalan. Terlepas dari semuanya itu, ada yang menarik dari Anas Urbaningrum, Ketua DPP Partai Demokrat (9/4/2009), ketika mengomentasi kemenangan partainya, bahwa ini adalah bukti rakyat lebih percaya pada sesuatu yang sudah pasti, ketimbang coba-coba dengan sesuatu yang belum pasti. Di tempat terpisah, Tifatul Sembiring, Presiden PKS (9/4/2009), menampik anggapan bahwa ini bukti kalau partai Islam tidak laku. Sementara itu, Golkar, yang mengalami penurunan suara yang signifikan dalam pemilu kali ini, melalui Ketua Umumnya, Jusuf Kalla (9/4/2009), menengarai telah terjadi kecurangan dalam pemilu.
Iya, untuk menang, apapun memang bisa dilakukan. Mulai dari penurunan BBM menjelang pemilu, BLT hingga iklan. Dana ratusan milyar rupiah pun telah digelontorkan untuk iklan, baik di televisi, radio maupun koran. Semuanya itu dilakukan demi memoles citra partai, politisi dan figur sentralnya. Dengan begitu masifnya iklan yang ditayangkan, rakyat pun lupa akan kejahatan partai, politisinya, bahkan pejabat penyelenggara negara. Pendek kata, semua cara menjadi halal, demi meraih kemenangan. Celakanya, partai yang mengaku sebagai partai Islam pun ikut-ikutan. Sayangnya, meski semua identitas keislamannya telah dikorbankan, toh nyatanya tidak menang.
Di sisi lain, di luar gelanggang, ada juga segelintir orang yang menyerukan pemenangan Islam melaui pemilu. Padahal, mereka tahu bahwa belum pernah ada sejarahnya, Islam menang melalui pemilu. Sebut saja Masyumi dan NU, yang masing-masing memenangi 112 dan 91 kursi pada pemilu 1955, akhirnya toh tetap tidak bisa memerintah. Masyumi kemudian dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960. Cerita yang sama juga terjadi pada FIS di Aljazair. FIS yang menang pada pemilu 1991 putaran I, dan menguasai 81% kursi parlemen, dan menang telak pada pemilu putaran II pada tahun yang sama, akhirnya dibubarkan oleh junta militer. Cerita yang sama juga terulang pada Hamas, sebagai pemenang pemilu di Palestina.
Karena itu, mengharapkan terjadinya perubahan, apalagi kemenangan Islam melalui pemilu jelas tidak mungkin. Daripada berharap kepada sesuatu yang tidak mungkin, lebih baik seluruh potensi umat dikerahkan untuk membangun jalan baru, yaitu jalan yang pernah ditempuh oleh Nabi saw. dalam mewujudkan perubahan. Jalan yang terbukti telah mampu mengubah bangsa Arab, dari bangsa yang tidak mempunyai sejarah, sampai akhirnya menjadi pemimpin dunia.
Jalan baru ini bukan saja dibutuhkan oleh Indonesia, tetapi juga seluruh umat manusia di dunia. Betapa tidak, setelah Islam tidak lagi berkuasa, tepatnya setelah institusi Khilafah diruntuhkan pada tanggal 3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H, dunia nyaris dalam genggaman Kapitalisme dan Sosialisme. Hasilnya, sebelum krisis keuangan global, ada 4 milyar jiwa, atau separo penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan; 90% kekayaan dunia pun hanya dikuasai 20% penduduk dunia, sementara 10% sisanya harus dibagi 80% penduduk dunia yang lainnya. Ketika krisis keuangan menerpa dunia sejak 2007 hingga sekarang, para pemimpin G-7 tidak mampu memikul beban krisis tersebut. Mereka pun melibatkan para pemimpin G-20. Dalam pertemuan mereka di London baru-baru ini, disepakati paket stimulus ekonomi sebesar USD 5 triliyun. Lebih dari USD 700 milyar di antaranya digunakan untuk membantu IMF. Apa yang mereka sebut stimulus ekonomi, bailout maupun yang lain, nyatanya bukan untuk menyelamatkan kelompok 80% penduduk dunia, yang nota bene lebih membutuhkan, tetapi justru untuk membantu kelompok 20%, dan tidak lain untuk mempertahankan penjajahan mereka terhadap dunia.
Di Indonesia sendiri, pada tahun ini terdapat 10,24 juta rakyat mengganggur; 33 juta lebih hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan jika menggunakan standar Bank Dunia, angkanya bisa mencapai 100 juta orang; 90% kekayaan migas kita juga telah dikuasai oleh asing. Belum lagi kekayaan alam yang lainnya. Lihatlah, kekayaan alam kita yang melimpah ternyata hanya menyumbang 20% pendapatan di APBN, sementara 75% nya diperoleh dengan memalak rakyat, melalui pajak, sisanya 5% dari perdagangan, dan lain-lain.
>Inilah realitas sistem Kapitalisme Sekularisme dan Liberalisme yang mencengkram kehidupan kita. Pertanyaannya, masihkah kita berharap kepada sistem seperti ini, yang terbukti telah menghempaskan dunia, termasuk Indonesia, dalam jurang kehancuran? Orang yang berakal sehat, tentu akan menjawab tidak. Itulah mengapa, seorang Angela Merkel, Kanseler Jerman, beberapa waktu lalu pernah menyatakan, bahwa dunia membutuhkan sistem alternatif.
Benar. Dunia, termasuk Indonesia, memang membutuhkan sistem alternatif. Sistem itu adalah sistem Khilafah. Bukan yang lain. Bahkan, tesis ini pun berkembang di kalangan intelijen dan ahli strategi, “Setelah tesis Liberalisme-Kapitalisme gagal mensejahterakan dunia, kekhilafahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun Khilafah Universal. Hanya sistem inilah yang bisa mengatur dan mensejahterakan dunia, karena tatanan Sekular-Kapitalisme telah gagal.” ungkap AM Hendropriyono (Sabili, no 19 TH XVI, 9 April 2009, hal. 28). Tesis ini memang bukan hal baru. Bahkan ahli strategi AS dan Rusia, termasuk NIC, sebelumnya pernah menyatakan akan kembalinya Khilafah.
Inilah jalan baru yang dibutuhkan oleh dunia, termasuk Indonesia saat ini. Jalan yang akan mengubah wajah dunia yang didominasi kezaliman, menjadi wajah dunia yang adil dan makmur. Jalan itu pun telah dirintis oleh Hizbut Tahrir sejak tahun 1953. Dari bagian barat, ruangan Masjidil Aqsa, 56 tahun silam, jalan baru itu dirintis oleh seorang pemikir, politikus ulung dan mujtahid mutlak, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Kini jalan baru itu telah diemban oleh jutaan umat Islam, dan berkembang di lebih dari 40 negara. Sehingga ada yang mengatakan, Hizbut Tahrir saat ini telah menjelma menjadi kelompok politik terbesar di seluruh dunia, bukan hanya di dunia Islam, tetapi juga di Barat dan Timur. Tentu saja, semuanya ini berkat komitmen dan keteguhannya, dan pasti dengan izin dan pertolongan Allah SWT semata.
Hizbut Tahrir bersama umat Islam di seluruh dunia kini siap menyongsong kabar gembira, kembalinya Khilafah. “Pada saat itulah, hati seluruh kaum Mukmin akan bergembira, karena pertolongan Allah.” (Q.S. Ar-Rum [30]: 4-5)(Hafidz Abdurrahman) HIZBUTTAHRIR.CO.ID
1 komentar:
SETUJU, dengan catatan:
1. Ulama harus disterilkan dari paham-paham demokrasi ala Barat
2. Tokoh yang komperator Asing tidak terus mendapat tempat di publik dengan asas manfaaat ngompori rakyat.
3. Pengambil keputusan dalam negara SATU KATA SATU HATI.
Posting Komentar