Selamat Menjalan Ibadah Puasa

Assalamu'alaikum,
Kami Tim papuacare mengucapkan selamat menjalankan Ibadah Puasa semoga amal ibadahnya diterima Alloh Subhanahuwata'ala. Amiin.
papuacare

Demi Dolar Negeri Kujual

Tabloid SUARA ISLAM EDISI 48, Tanggal 18 - 31 Juli 2008 M/15 - 31 Rajab 1429 H
Dalam kasus Munir, kata Fadli Zon, kalangan LSM di dalam negeri hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing saja karena mereka mendapat banyak keuntungan dana asing. Pokoknya, demi dolar, kalau perlu negeri dijual.
Sinyalemen itu sudah menjadi rahasia umum. Pada edisi 16, 18, dan 19 April 2007, Kompas menurunkan liputannya menge-nai akuntabilitas LSM atau NGO. Laporan berangkat dari diskusi publik bertema ”Perlunya Mengaudit Agenda dan Sumber Dana Asing terhadap LSM yang merugikan Rakyat, Bangsa dan Negara” di Jakarta, 14 April 2007 yang digelar LSM Abdi Lestari Nusa.
Sejak 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati “surga” aliran dana asing (easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM-LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM.
Data Departemen Dalam Negeri mencatat, hingga 2002 jumlah LSM di Indonesia mencapai 13.500 lembaga. Belum termasuk yang tak tercatat. Dari jumlah tersebut, 90% di antaranya didanai pihak asing (Kompas, 13/1/2003).
Hasil penelitian Rustam Ibrahim pada 2005 atas 25 ornop -- sebagiannya adalah OSMS-- menjustifikasi fenomena itu. Mayoritas responden mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65% anggaran.
Richard Holloway lewat bukunya Menuju Kemandirian Keuangan (Yayasan Obor Indonesia, 2001), sudah mewanti-wanti LSM Indonesia untuk bersiap mandiri dan tidak bergantung terus pada dana asing. Diantaranya, dana asing membuat posisi LSM lemah secara politis. Terutama, ketika harus menepis tuduhan bahwa kegiatan mereka atas bayaran dan sesuai instruksi kekuatan asing yang mungkin saja dapat merugikan negara Indonesia.
Dana asing juga kontradiktif dengan upaya LSM-LSM untuk memfasilitasi kemandirian dan independensi kelompok-kelompok masyarakat sementara LSM itu sendiri tidak mandiri dan tidak independen.
Peringatan itu tak berlebihan. Counterpunch, sebuah newsletter portal Amerika, membeberkan bahwa sejumlah LSM di seluruh dunia yang didanai AS memang berfungsi sebagai instrumen untuk menyebarkan misi kebijakan AS di negara lain.
Menghubungkan kudeta yang terjadi di Georgia dengan operasi semacam itu, penulis Jacob Levich dalam artikelnya “When NGOs Attack” menunjukkan bagaimana LSM-LSM semacam itu “saat ini secara terbuka terintegrasi dalam keseluruhan strategi Washington untuk mengkonsolidasi supremasi global”.
Mengutip laporan dari Departemen Luar Negeri sebagai pendukung, Levich mengklaim bahwa sejumlah LSM yang tampak tidak berbahaya saat ini sedang memainkan peran penting dalam kebijakan “perubahan rejim” rekayasa AS, yang telah digariskan dalam National Security Strategy (NSS).
Levich membeberkan orga-nisasi United State Agency for International Development (US-AID) sebagai link utama dalam pendanaan badan-badan pe-ngembangan dan ratusan organi-sasi lain yang terlibat dalam kerja sosial. Di samping itu, terdapat sejumlah think tank yang didanai oleh asing.
Karena itu, ''Bubarkan LSM antek asing!'' Seruan ini menge-muka dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertajuk ''FPI, FBR, VS LSM Komprador'' di Wisma Dharmala Sakti, Juli 2007.
Diskusi yang dihadiri ratusan aktivis tersebut menghadirkan Ketua FPI Habib Rizieq Syihab, Munarman (mantan ketua YLBHI), dan KH Muhammad Al Khaththath (Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia).
Habib Rizieq Syihab menyatakan, setelah sekian lama dibiarkan LSM-LSM kaki tangan asing itu harus segera ditertibkan. ''LSM komprador juga telah melanggar UU No. 16/2001, yang mengharuskan LSM melaporkan bantuan asing yang diterimanya kepada pemerintah,'' ujar Habib, sambil mendesak agar pemerintah dan DPR menertibkan LSM antek asing.
Kontrol atas LSM antek sebenarnya sudah lama dilakukan pemerintah. Pada Desember 1991, Menko Polkam Sudomo menyatakan akan menindak LSM yang mencemarkan nama Indonesia di dunia internasional. Hal ini dipicu oleh makalah Dewan nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) dalam Konferensi Dewan Internasional untuk Kesejahteraan Sosial (ICSW) Asia Pasifik di Hongkong, akhir Agustus 1991. Dalam makalah itu, DNIKS menyebutkan, pembangunan listrik di Kedung Ombo hanya untuk orang berpunya, pembebasan becak di Jakarta untuk mobil mewah, serta penambahan dan penangkapan ikan di perairan Papua digambarkan bertentangan dengan prinsip keadilan dan melanggar keseimbangan lingkungan.
Pada 14 Januari 1992, Sudomo minta revisi UU No 8/1985 tentang Organisasi Massa. Tujuannya untuk mengontrol LSM semacam LBH dan Walhi. Dia mengancam menindak kedua LSM itu jika menerima bantuan dari luar negeri secara langsung, membantu orang asing melakukan kegiatan yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara, dan pencemaran nama baik bangsa di luar negeri.
Lalu April 1992, Pemerintah melarang LSM Indonesia menerima bantuan dari Pemerintah Belanda. Hal ini akibat pemerintah Belanda yang dinilai terlalu memojokkan dalam kasus 12 November 1991 di Dili, Timor Timur.
Pada 28 Agustus 1996, Mendagri Yogie SM meminta LSM mematuhi UU No 8/1985. Dia juga mensinyalir, ada LSM yang menghembuskan citra buruk pemerintah Indonesia ke dunia internasional.
Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam pidato tahunannya di Parlemen pada 26 April 2007, juga mengecam campur tangan asing di Rusia. Ia mengungkapkan adanya aliran uang asing yang membanjiri Rusia untuk mengintervensi dengan dalih demokrasi.
Tak kepalang tanggung, Vladimir Putin menumpas demon-strasi berbagai kelompok oposisi liberal anti-pemerintah yang didanai asing terutama Eropa. Para pemimpin oposisi, termasuk bekas juara dunia catur, Garry Kasparov, ditangkap. Ia pun menyerukan dibekukannya kesepakatan militer dengan Eropa atau Conventional Forces in Europe. [aya hasna/www.suara-islam.com]

Konspirasi Mengancam Keutuhan NKRI

Tabloid SUARA ISLAM EDISI 48, Tanggal 18 - 31 Juli 2008 M/15 - 31 Rajab 1429 HIntervensi asing kian hari kian tampak. Simbiosis kekuatan dari luar dan dari dalam mencoba mengarahkan perjalanan bangsa ke arah kehancuran. Ada konspirasi di dalamnya?
Kasus Munir memasuki babak baru. Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono ditangkap polisi 19 Juni lalu. Ia didakwa terlibat kasus pem-bunuhan Munir. Banyak pihak berharap tertangkapnya Muchdi bisa menguak misteri yang sudah sekitar 4 tahun tertutup, siapa di balik pembunuhan Munir.
Pengadilan telah menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda. Namun vonis tersebut belum mengungkap secara gamblang skenario besar di balik pem-bunuhan itu. Masih banyak pertanyaan yang muncul. Benarkah pembunuhan itu atas perintah Muchdi sendiri atau dia bekerja dengan kelompoknya sendiri, ada institusi lain yang terlibat, atau ada kekuasaan yang lebih besar yang meme-rintahkan, sampai adakah permainan asing dalam skenarionya. Banyak pihak berharap pengadilan terdakwa Muchdi akan menjawabnya. Soalnya kasus ini berlarut-larut dan memunculkan campur tangan asing yang begitu kuat.
Namun ada juga yang pesimis kasus pembunuhan aktivis HAM itu menjadi terang benderang. Siapa operator kasus ini dinilai tetap suram.
Pengamat intelijen AC Manullang menilai penangkapan itu tergolong luar biasa. ''Apa yang dinamakan unsolved political cricis mulai muncul," kata mantan Direktur Bakin tersebut. Ia yakin Muchdi tidak akan 'nyanyi' yang meli-batkan lembaganya itu. "Jangan dipaksa dia untuk menceritakan yang mengada-ada. Tidak mungkin ia akan beberkan, sampai mati sekali pun. Dia itu orang intelijen. Tidak bisa intelijen beberkan aksi intelijen," ujarnya seperti dikutip sebuah situs berita.
Manullang yakin, BIN hanya kambing hitam. Ia menduga kasus Munir meli-batkan agen intelijen yang lebih besar mengingat Munir tewas diracun di dalam pesawat dan yang mengherankan pene-litian racun di tubuh Munir dilakukan di Belanda, bukan di Indonesia. "Kalau intelijen lokal tidak usah jauh-jauh membungkam Munir di pesawat menuju Eropa, di dalam negeri juga bisa. Ini (pembunuhan) bisa terjadi karena aksi intelijen yang canggih," ujarnya.
Kasus Munir, lanjutnya, menyangkut grand design besar dari pihak asing, terutama AS dan Australia. Dengan menggulirkan kasus ini ke isu HAM, jelas sasaran tembaknya adalah untuk me-mojokkan TNI. "Kenapa TNI harus dipojokkan, karena awal-awal TNI AD-lah yang paling solid untuk memimpin Indo-nesia. Jadi unsur politiknya juga kental. Asing maunya pemimpin yang mau meng-ikuti aturan main neokolonialisme dan neoliberalisme," ujarnya.
Kasus Munir memang telah menjadi kasus internasional. Sampai-sampai pa-da sebanyak 50 anggota Kongres AS mengirim surat kepada Presiden SBY perihal kasus Munir pada 27 Oktober 2005. Mereka bilang, Kongres AS peduli terhadap HAM dan menaruh perhatian pada pembunuhan dan investigasi kasus Munir. Mereka juga mendukung ter-bentuknya tim pencari fakta (TPF) kasus Munir. Internasionalisasi ini kian kentara setelah istri Munir, Suciwati, berkunjung ke AS pada Oktober 2006. AS langsung beraksi. Duta Besar AS untuk Indonesia, B Lynn Pascoe, pada 12 Oktober 2006 menyatakan bahwa AS menyayangkan bahwa tak seorang pun dijatuhi hukuman atas kasus pembunuhan Munir. Pada 3 November 2006, dalam surat yang ditan-datangani empat anggota Kongres AS, dinyatakan bahwa Kongres AS menya-takan kecewa karena penanganan kasus pembunuhan Munir "berjalan di tempat". Eropa pun tak ketinggalan. Ketua Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso, pun mena-nyakan kasus ini kepada Presiden SBY saat KTT ASEM di Finlandia, September 2006. Suciwati pun terus keliling ke Belgia, Kanada, Australia, dan Belanda. Tak cukup itu, Suciwati pun ke PBB.
Pada 10 Juni 2006 Sekretaris Jenderal PBB, Hina Jilani, ke kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Keke-rasan (Kontras) di Jakarta, Sabtu (9/6/2007). Jilani mengunjungi Kontras untuk mencari data terbaru kasus Munir. Kedatangan Jilani dianggap sebagai tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus ini. Bagai-mana tidak, kasus kematian satu orang ini seolah menjadi lebih penting dari kema-tian ribuan orang Muslim yang terjadi di Indonesia sebelumnya. Ingat kasus Ambon, Halmahera, Poso, dan sebagai-nya. Tidak ada kepedulian sedikitpun dari lembaga-lembaga yang katanya membela HAM. Bahkan sekitar 650 ribu orang Irak yang mati di depan mata mereka, Barat tak peduli dan seolah menutup mata.
Intervensi
Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia menunjukkan negeri ini tak lagi memiliki kedaulatan sebagai sebuah negara. Banyak tangan asing begitu mudahnya mendikte pemerintah, bahkan langsung bermain sendiri di tengah-tengah masyarakat. Malah banyak lem-baga lokal yang bekerja untuk kepen-tingan orang asing karena kepentingan perut.
Intervensi asing di Indonesia ini tidak lepas dari upaya untuk melemahkan Indonesia. Pengamat intelijen Wawan Purwanto menduga, intervensi asing da-lam kasus Munir, misalnya, dimaksudkan untuk melemahkan intelijen Indonesia. ''Setelah TNI dan Polri, yang dibidik selanjutnya adalah intelijen,'' katanya. Menurutnya, TNI, Polri, dan intelijen adalah tulang punggung pertahanan dan keamanan nasional Indonesia.
Memang, selama ini sasaran inter-vensi tersebut masih bersifat personal, belum institusi. ''Tapi sebenarnya, sasarannya adalah ke sana (institusi),'' katanya.
Wawan mengatakan, Indonesia ada-lah negara besar. Kekuatan asing tidak ingin Indonesia ini kuat karena bisa membahayakan mereka. Maka mereka berusaha dengan berbagai cara agar Indonesia lemah. Wujudnya adalah me-munculkan konflik-konflik horizontal. Asing bisa menggunakan tangan siapa saja yang bisa dibenturkan. ''Yang bisa dibenturkan, dibenturkan. Makanya ja-ngan mudah terpancing dan ter-provokasi,'' tandasnya.
Bahkan upaya asing itu tidak hanya ingin melemahkan Indonesia, malah ingin memecah belah Indonesia menjadi negara-negara kecil. Niat jahat itu terlontar di berbagai pertemuan inter-nasional di luar negeri. ''Saya mendengar sendiri. Itu riil ada,'' tandasnya. Mereka, kata Wawan, menghitung panjang Indo-nesia itu mulai dari London hingga Bagdad di mana itu terdiri atas lebih dari enam negara. Sementara Indonesia hanya sendiri (satu kesatuan). Mereka meng-anggap Indonesia terlalu besar. Proses Balkanisasi bukan tidak mungkin akan terjadi jika Indonesia semakin hari kian lemah karena diobok-obok asing dan antek-anteknya di negeri ini. ''Kalau ini (Balkanisasi-red) dikampanyekan terus, kita bisa bubar. Makanya kita harus meningkatkan terus kekuatan ekonomi dan rasa kebangsaan kita,'' tandasnya.
Kaki Tangan
Asing tidak bekerja sendiri di Indo-nesia. Mereka memiliki kaki tangan yang bekerja sesuai pesanan tuan-tuannya. Mantan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Munarman mengungkapkan, hampir semua sektor telah dimasuki oleh agen-agen asing. Mereka bekerja dengan sangat sistematis. Di bidang ekonomi, misalnya ada Mafia Berkeley. Ada lembaga-lem-baga kajian politik dan pemerintahan, sosial, kebudayaan, hingga lembaga kajian keagamaan. Ada yang berupa institusi resmi atau sekadar kelompok masyarakat.
Keberadaan lembaga swadaya masya-rakat (LSM) pun tak luput dari intervensi asing ini. Kebanyakan mereka hidup dari dana asing. Malah data dari Departeman Dalam Negeri pernah menyebut 90 persen LSM hidup dari donor luar negeri. Maka, sangat mungkin mereka bekerja bagi kepentingan yang membiayainya. ''Kan tidak ada makan siang yang gratis,'' kata Wawan. Mereka bergerak sesuai dengan pesanan dan skenario yang telah disiapkan.
Satu di antara lembaga yang mem-punyai andil besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies). LSM yang didirikan tahun 1971 ini merupakan think tank kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru di bawah Soeharto. Pendirinya antara lain Ali Moertopo, Soedjono Humardhani, Harry Tjan Silalahi, Josephus Beek, dan Daoed Joesoef. Tokohnya sekarang seperti M Hadi Soesastro, Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie), Marie Elka Pangestu, Indra J Piliang,dan J Kristiadi. Mereka sangat berkuasa pada masa Orde Baru. Orang-orangnya duduk di pemerintahan dan militer, sebut saja antara lain JB Sumarlin, Benny Murdani, Ali Moertopo, Daoed Joesoef, dan lainnya. Bahkan keberadaan kelompok CSIS ini masih eksis sampai sekarang di berbagai sektor penting. Pengaruhnya masih cukup besar. Ini tidak lepas dari adanya dukungan dana dari luar negeri.
Begitu mengakarnya pengaruh mere-ka, hampir semua rezim pasti mem-perhatikan masukan-masukan kelompok ini. Di era Soeharto justru mereka inilah yang menyusun Master Plan Pem-bangunan Bangsa Indonesia. Di dalam-nya, menurut almarhum Hussein Umar, terkandung strategi untuk melemahkan Islam Indonesia.
Bahkan mereka pula yang menen-tukan siapa yang harus memimpin Indonesia. Munarnan, mantan Direktur YLBHI, menceritakan menjelang Pemilu Presiden 2004, CSIS mengumpulkan LSM-LSM berpengaruh di Indonesia di kantor CSIS Tanah Abang. Banyak perwakilan LSM yang hadir termasuk organisasi kepemudaan Islam seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan IPM (Ikatan Pemuda Muhammadiyah). Rapat itu dipimpin oleh Jusuf Wanandi dan Hadi Soesastro. Dua tokoh ini belakangan diketahui masuk dalam daftar anggota Trilateral Commission, sebuah organisasi yang terkait dengan jaringan Yahudi inter-nasional (Freemansonry) yang ingin menjadikan dunia dalam genggaman mereka.
Pertemuan itu, lanjut Munarman, membahas siapa presiden yang tepat bagi Indonesia. Megawati dianggap tidak layak untuk menjadi presiden lagi karena dianggap tidak ada kemajuan. ''Kita harus ada strong government,'' kata salah satu dari keduanya. Selanjutnya Hadi Soe-sastro mempertanyakan kepada para aktivis LSM dan pemuda. ''You mau dipimpin oleh Wiranto, karena kalau ke luar negeri dia langsung ditangkap setiap saat oleh polisi internasional? Ini kan bisa memalukan bangsa,'' kata Munarman menirukan Hadi.
Karena rapat tidak memunculkan kesepakatan, siapa yang tepat dipilih jadi presiden, maka Jusuf Wanandi langsung mengambil inisiatif untuk menyebut langsung presiden yang harus didukung, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Dia meminta SBY didukung, minimal dia tidak diserang selama proses pemilu presiden. Namun ada empat orang waktu itu yang menolak yakni Munarman, Munir, Rachland Nashidik, dan Rizal Sukma. Mereka menolak mendukung militer dengan alasan saat itu adalah eranya sipil. Justru akhirnya diketahui Munir menjadi juru kampanye Amien Rais.
Seperti main bola, telah terjadi pembagian posisi antara antek-antek asing di Indonesia. Abdurrahman Wahid menjadi pemain di bidang sosial keagamaan. Tak mengagetkan bila Gus Dur mendapat hadiah Medal of Valor (Medali Keberanian) dari Shimon Wiesenthal Center (SWC) di Los Angeles, AS. Kedatangannya ke sana sekaligus ikut merayakan hari kemerdekaan Israel. Gus Dur dianggap sebagai sahabat paling setia dan paling berani terang-terangan men-jadi pelindung kaum Zionis-Yahudi dunia di sebuah negeri mayoritas Muslim terbesar seperti Indonesia. Selain hadiah medali mantan presiden RI ini mem-peroleh sejumlah uang.
Sebelumnya, kaum jaringan Yahudi juga memberikan hadiah kepada Goe-nawan Mohamad, bos media Tempo, sekaligus gembong kelompok liberal di Indonesia. April lalu GM, begitu dia biasa disebut, menerima penghargaan 'Dan David Prize' oleh Tel Aviv University. Penghargaan itu didasarkan kepada aktivitas Goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebas-an pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Bersama itu dia memperoleh uang senilai 250 ribu dolar AS (sekitar Rp 2,3 milyar). Sebe-lumnya pada tahun 1992 ia sempat dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw dari Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1998, dia menerima penghargaan internasional dalam hal Kebebasan Pers dari Komite Pelindung Jurnalis. Setahun kemudian, dia menerima penghargaan dari World Press Review, Amerika Seri-kat, untuk kategori Editor Internasional. Menurut sumber Suara Islam, dia adalah agen utama Amerika di Indonesia.
Melalui media Tempo yang dimili-kinya, Goenawan sukses menggerakkan proses sekularisasi di Indonesia. Dia berperan besar 'membesarkan' Abdur-rahman Wahid dan Nurcholis Madjid, sebagai lokomotif liberalisasi Islam di Indonesia. Kini giliran Ulil Abshar Abdalla cs yang diberi tempat untuk merusak negeri ini. Tokoh-tokoh liberal kemudian berhimpun dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di kalangan LSM, muncul LSM yang menyuarakan kepentingan asing ketim-bang kepentingan nasional. Dulu ada Solidamor (Solidaritas untuk Rakyat Timor Timur) yang sukses memper-juangkan kemerdekaan Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-nesia. Beberapa mantan aktivisnya kini ada di beberapa LSM lainnya dengan suara perjuangan yang berbeda. Seolah mereka tak merasa bersalah mencabik-cabik negeri dia sendiri.
LSM hukum dan HAM yang tam-paknya kini mendapat tempat. The Asia Foundation, Ford Foundation, USAID, AusAID, Yayasan Tifa, dan lembaga dunia lainnya mengucurkan milyaran rupiah untuk mendukung gerakan LSM tersebut. 1 Juni tahun lalu, aliansi LSM hukum dan HAM menulis laporan tentang diskri-minasi rasial di Indonesia. Laporan itu tentu dibuat sebagai laporan bagi pemberi dana (donor). Dalam laporan setebal 62 halaman berjudul: “Breaking the smoke-screen of Racial Discrimination and Im-punity in Indonesia”, mereka melaporkan berbagai diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Di antaranya adalah mun-culnya peraturan daerah yang bernuansa Islam. Misalnya Perda di Bulukumba, Sulawesi Selatan, tentang baca tulis Alquran, Perda pakaian bagi Muslim, dan perda tentang minuman keras. Perda baca tulis Alquran dan miras dianggap melang-gar komunitas Kajang yang suka minum tuak. Mereka seolah menutup mata atas hasil yang dicapai dengan adanya Perda tersebut di Bulukumba.
Selain itu, dalam laporannya, aliansi LSM di antaranya Elsam, Kontras, PHBI, LBH Jakarta, Foker LSM Papua, LAPAR, PIAR NTT, HRWG, GANDI, LADI, PKBH Bengkulu, dan MADIA ini juga menyoroti diskriminasi rasial di Papua. Diskriminasi ini mereka katakan terjadi sejak zaman Belanda, Jepang, hingga sekarang. Orang Papua dikatakan tidak memiliki akses mengatur urusannya misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Program transmigrasi ke Papua juga dikatakan mengusir warga ke gunung-gunung. Mereka juga menentang langkah pemerintah memberantas OPM di Papua.
Pembelaannya terhadap Ahmadiyah juga sangat kentara. Mereka mereko-mendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan Badan Koordinasi Peng-awas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Lembaga ini dianggap tidak memberi jaminan kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan keya-kinannya secara bebas.
Fakta ini, menurut Munarman, me-nunjukkan LSM-LSM itu merancang program berdasarkan program yang ada pada lembaga-lembaga pendanaan atau funding-funding agency. ''Yang sudah tentu lembaga-lembaga itu adalah per-panjangan tangan atau alat dari sebuah pemerintahan global yang dikendalikan Zionisme, Freemansonry dan Illuminati,'' katanya.
Mereka berkoar-koar sebenarnya hanyalah berdasarkan kepentingan. ''Omong kosong kalau tokoh-tokoh itu berbicara tentang kebhinekaan, tentang ke-Indonesiaa atau tentang kebangsaan,'' tandasnya. Mereka ini bekerja karena urusan perut, urusan duit, dan kepentingan asing.
Sesuai dengan agenda kapitalisme global, mereka bergerak untuk melawan siapapun yang berjuang untuk menegak-kan syariat Islam. Tak heran jika mereka menakut-nakuti umat dengan bilang bahwa penerapan syariat Islam akan memecah belah bangsa. Padahal sebenar-nya mereka itulah yang patut diwaspadai karena mereka tidak memiliki jati diri sebagai anak bangsa. Mereka adalah begundal asing untuk menjerumuskan negeri ini ke jurang kehancuran. Di tangan-tangan merekalah, hampir 60 tahun lamanya, Indonesia tetap saja berada dalam kondisi terbelakang. Krisis akibat ideologi kapitalisme-sekuler yang mereka agung-agungkan tak pernah terselesaikan hingga sekarang.
Karena itu, menurut Wawan Pur-wanto, semua elemen masyarakat harus waspada terhadap intervensi asing ini. Keutuhan wilayah negeri harus tetap dijaga. Dan itu, kata Munarman, bisa dijaga dengan penerapan syariat Islam, karena tidak ada agenda satupun dari penegakan syariat Islam untuk memecah belah NKRI. Justru dengan syariat Islam NKRI makin kuat, berkah, dan berwibawa. Insyaallah. [mujiyanto/www.suara-islam.com]

Asing Manfaatkan Isu Papua Agar Tetap Kuasai SDA

Belum selesai kasus pengiriman surat 40 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) berbau intervensi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal OPM, bumi Papua digemparkan kembali dengan pengibaran bendera bintang kejora di Wamena, Sabtu (9/8). Kejadian ini sarat dengan kepentingan asing yang ingin tetap mempertahankan penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) di sana.
“Setelah Aceh, Papua menjadi isu daya tawar pihak asing. Mereka dalam hal ini tidak ingin melepas SDA di sana,” ujar pengamat intelejen Y. Herman Ibrahim pada Suara Islam, Senin (11/8). Herman menambahkan, dalam setiap aktivitas politik selalu tak pernah ada yang benar-benar murni keinginan satu kelompok semata. Dalam kasus Papua, keterlibatan pihak asing memang tercium sangat kuat.
Apalagi saat ini bangsa kita sedang bersiap-siap menghadapi Pemilu 2009. Banyak calon Presiden yang berbicara soal peninjauan ulang kontrak kerja dengan PT Freeport di Papua. Bahkan, ada pula yang berani berteriak nasionalisasi perusahaan AS itu. “Mereka pun memainkan isu separatisme Papua,” lanjut Herman.
Pihak asing, dalam hal ini AS dan sekutunya, sengaja membiarkan isu separatisme Papua tetap ada. Kalau pun ada kepentingan masyarakat di sana yang merasa diberlakukan tidak adil dan berbeda ras dengan masyarakat Indonesia kebanyakan, hal itu sudah ditunggangi.
“Kita juga tak pernah pandai mendekati masyarakat Papua,” tambahnya lagi.
Pemerintah Indonesia juga dinilai terlalu lemah menghadapi konspirasi asing ini. Hal tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh mereka untuk secara terus-menerus menekan bangsa kita agar tetap tunduk dan memenuhi keinginan mereka.
“Inilah pemerintah kita yang selalu mengekor pada kepentingan global. Pemerintah yang menuruti kepentingan zionis internasional,” tegasnya.
Menanggapi surat 40 anggota Kongres AS yang meminta pembebasan dua tokoh OPM, Herman menyayangkan sikap pemerintah yang tak menampakkan ketegasannya. “Seharusnya SBY dapat meyakinkan rakyatnya bahwa pemerintah tak bisa diintervensi,” ungkap Herman.
Sayangnya, pemerintah justru lambat merespon dengan alasan surat tersebut belum sampai. “Mensesneg bilang suratnya belum diterima Sesneg. Padahal seharusnya soal administratif seperti ini tak perlu dipermasalahkan. Presiden mestinya bisa menjawab dengan jawaban politik,” pungkasnya. [ihsan/www.suara-islam.com]

Anggota Kongres AS Hobinya Kirim Surat dan Campuri Urusan Negara Lain

Pengiriman surat dari 40 anggota Kongres AS kepada Pemerintah Indonesia merupakan hal yang biasa. Anggota DPR RI Abdillah Toha mengatakan, sudah menjadi kebiasaan mereka mengirimi surat yang isinya mencampuri masalah-masalah yang terjadi di negara lain. “Mereka hobinya memang nulis surat ke negara-negara di dunia,” ujarnya.
Pemerintah tak perlu menanggapi surat tersebut secara berlebihan. Kalau pun mau, cukup Kementrian Luar Negeri saja yang menanggapi dengan menyatakan bahwa anggota Kongres AS itu tak bisa mengintervensi hukum di Indonesia. “Takutnya jika pemerintah RI bereaksi terlalu besar, mereka menjadi besar kepala,” kata Abdillah di sela-sela pertemuannya dengan rombongan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Senin (11/8) di gedung DPR, Jakarta.
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, salah satu Ketua DPP HTI Farid Wadjdi memberikan saran agar anggota DPR sebaliknya rajin pula mengirimkan surat pada Kongres AS menyatakan bahwa negara kita tak mau diintervensi. Saran ini ditanggapi positif. Abdillah mengaku pihaknya belum pernah berfikir sejauh itu.
Sementara itu, terkait dengan isi surat anggota Kongres AS yang menyinggung masalah HAM di Papua, Abdillah menilai sesungguhnya AS sudah tidak punya otoritas moril untuk mengatur permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia. Karena, AS sendiri merupakan pelanggar HAM terberat dunia. Oleh karena itu, daripada mengurusi HAM negara lain, lebih baik AS membenahi HAM di negerinya sendiri terlebih dahulu.
HTI sendiri merasa khawatir dengan reputasi pemerintah Indonesia cukup buruk dalam menyikapi intervensi yang dilakukan asing, khususnya AS. Juru Bicara HTI Ismail Yusanto mengambil contoh kasus blok Cepu dimana tanpa ada satu pun dasar yang rasional baik secara historis, yuridis maupun ekonomis bagi pemerintah tapi tetap saja diserahkan pada Exxon Mobil. Hal ini disebabkan intervensi yang cukup kuat dilakukan oleh pemerintah AS. “Belum lagi Condoliza Rize mendarat, blok Cepu sudah diserahkan,” ungkapnya.
Ismail Yusanto menegaskan kedatangan HTI ke gedung DPR untuk menyampaikan penentangan terhadap intervensi AS dan kekhawatiran pada gerakan separatisme. Sikap ini merupakan bagian dari gagasan Khilafah. Substansi Khilafah adalah syariah dan ukhuwah. Perwujudan ukhuwah ini salah satunya adalah persaudaraan dalam kesatuan wilayah. Oleh karenanya, HTI bersikap tegas menolak segala upaya pemisahan wilayah kesatuan negeri ini. Argumennya, kaum muslimin diperintahkan oleh Allah untuk bersatu, sementara fakta kaum muslimin saat ini telah berpecah belah. “Bagaimana kalau sudah pecah, pecah lagi. Tentu ini sangat membahayakan,” ujarnya.
Ketua Umum DPP HTI Hafidz Abdurrahman menyatakan fakta adanya jaringan kuat di balik kelompok separatis disadari betul oleh HTI. Hal ini mengingatkan pada sejarah disintegrasi yang terjadi di beberapa wilayah Khilafah Turki Utsmani hingga keruntuhannya. Salah satu faktor terjadinya Disintegrasi itu karena pengaruh kaum misionaris. Kasus yang sama terjadi pula di Timor Timur. Oleh karenanya, HTI mengingatkan pada kaum Nasrani bahwa sesungguhnya kepentingan AS dan negara-negara imperialis lainnya bukanlah untuk kepentingan Kristen namun semata-mata hanya untuk mengeruk kekayaan yang ada.
HTI menyerukan pada kaum Kristen di Papua dan di wilayah lain bahwa upaya separatisme yang dilakukan hanyalah akan merugikan diri mereka sendiri. Kaum Kristen juga diingatkan supaya tidak mau diperalat demi kepentingan negara-negara imperialis tersebut. HTI juga mengingatkan pada kaum muslimin di Papua supaya berjuang agar Papua tidak lepas dari Indonesia. [ihsan/www.suara-islam.com]

63 Tahun Indonesia di Tangan Asing

Indonesia kini genap 63 tahun. Usia yang patut disyukuri karena mencapai rata-rata harapan hidup orang Indonesia. Namun, masalahnya apakah Indonesia saat ini sudah benar-benar merdeka. Pertanyaan itu layak dilontarkan sebab selama 63 tahun Indonesia merdeka cita-cita kemerdekaan berupa terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera masih jauh dari kenyataan. Pertanyaan itu mungkin akan terjawab oleh fenomena balap karung yang selalu saja dilombakan tiap 17 Agustusan. Permainan itu sesungguhnya mencerminkan jiwa bangsa.
Balap karung persis menunjukkan perjalanan bangsa Indonesia yang selalu saja kesrimpung. Maklum, nafsu untuk berlari besar tapi tenaga mampat karena kedua kaki terbelenggu (ujung karung). Ironisnya, (karung) belenggu itu kita pegang sendiri kencang-kencang dengan kedua belah tangan.
Kita teriak-teriak, "kita harus bangkit, kita harus mandiri, kita harus bisa bersaing dengan bangsa lain". Atau kita gembar-gembor "merdeka merdeka!" Tapi, di saat yang sama kita menghamba pada Amerika. Amien Rais mengatakan demikian itu sebagai mental inlander. Lewat bukunya Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, ia secara gamblang menggambarkan kekayaan alam Indonesia yang mayoritas sudah dikuasai asing.
Pengurasan kekayaan alam Indonesia dimulai dengan intervensi terhadap produk hukum RI yang mengizinkan asing menguasai aset nasional nyaris tanpa batas. Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) "USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform". Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, "The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000" (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).
Mengenai kenaikan harga BBM, USAID menyebut keterlibatan Bank Dunia sebagai berikut "Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring." Jadi betapa telah sangat dalam dan jauhnya pihak asing, khususnya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia.
Hal itu dipertegas dengan laporan berjudul "Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM", yang diterbitkan Pusat Studi Energi, Departemen ESDM pada Desember 2001. Kajian ini ternyata dibiayai AUSAID (Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia. Tentu saja, di sini berlaku hukum tidak ada makan gratis. Kajian tersebut memuat skenario meliberalisasi harga BBM.
S
kenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.
Jadi begitu hinanya sebuah bangsa yang telah berumur 63 tahun. Namun langkah demi langkah masa depannya digariskan Asing. Terutama Amerika Serikat. Faktanya campur tangan asing itu tak hanya di sektor migas. Tapi, juga di sektor lainnya. RUU Kelistrikan misalnya dibuatkan Bank Dunia. Sedangkan RUU BUMN dibuatkan oleh Price Waterhouse Coopers. RUU SDA, RUU Maritim, RUU BHP, dan regulasi mengenai hajat hidup rakyat juga tak lepas dari intervensi asing.
Pendidikan Hingga Hankam Tunduk pada Asing
Dalam bidang pendidikan sejumlah perguruan tingga Favorit seperti UGM, UI, ITB, dan IPB sejak 2000, berubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan PP No 60/1999 dan PP No 61/1999. Kelak, mereka bakal menjadi perusahaan jasa pendidikan murni dengan payung Badan Hukum Pendidikan (BHP) berdasarkan UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 53 ayat 4.
Darwis SN, pemerhati kebijakan publik yang alumnus University of Adelaide Australia, mengungkapkan, draft RUU BHP sebenarnya dirancang sejak pertemuan "World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action" di Paris tahun 1998 yang disponsori UNESCO.
Ia merupakan salah satu konsekuensi dari General Agreement on Trade in Services (GATS) WTO yang meliberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi, dan pendidikan selama hayat.
Bersama Amerika dan Inggris, Australia memang paling getol mendesakkan liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Pasalnya, sejak tahun 1980-an, mereka mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi jasa pendidikan (Ender dan Fulton, Eds, 2002). Pada tahun 2000 saja, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp 126 triliun.
Asing juga dibiarkan mengambil alih perusahaan-perusaahan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti BUMN. Dengan UU no 25/2007 tentang Penanaman Modal, pemain asing dan pemain lokal dibiarkan bebas berkompetisi di Indonesia. Pasal 7 ayat 1 dan 2 malah menghalangi "nasionalisasi" dengan berbagai aturan yang menyulitkan dan merugikan negara sendiri. Yang terjadi justru internasionalisasi BUMN.
Tahun ini, Komite Privatisasi memutuskan untuk memprivatisasi (melego) 34 BUMN dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda tahun sebelumnya. Privatisasi melalui IPO di bursa efek dan dengan penjualan strategis (strategic sales) langsung kepada investor yang ditunjuk (Bisnis Indonesia, 5/2/2008).
Inilah privatisasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang dalam kurun 1991 - 2001 telah 14 kali melego 12 BUMN. Pada periode 2001 - 2006, kembali 14 privatisasi menjual 10 BUMN. Sedangkan hanya setahun, pada 2008 ini melego 37 BUMN. Masih pula disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN dijual dengan kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lagi dijual kepada asing.
Sekretaris Menteri Negara BUMN Muhammad Said Didu mengatakan, sebanyak 85 persen saham BUMN yang sudah melantai di bursa dikuasai oleh asing. Beberapa BUMN besar yang sudah menjadi perusahaan terbuka dan selalu membukukan keuntungan, antara lain PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Bukit Asam Tbk (Tempo Interaktif, 23 Pebruari 2006).
Di sektor perbankan, dengan pasal 22 ayat 1b UU Perbankan, warga negara dan badan hukum asing bebas untuk bermitra dengan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia mendirikan Bank Umum. Pihak asing pun bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia.
Saat ini 6 dari 10 perbankan terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya dikuasai asing. Menurut data Biro Riset InfoBank, Singapura merupakan yang paling banyak mengoleksi bank swasta Indonesia, yakni Bank Danamon, BII, Bank NISP, dan Bank Buana.
Tidak termasuk bank campuran, seperti Development Bank of Singapore (DBS) Indonesia, Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC) Indonesia, dan United Overseas Bank (UOB) Indonesia. Totalnya tujuh bank. Kalau dirunut, kepemilikan Singapura ini perpanjangan tangan dari Temasek Holding.
Sementara di bidang migas, berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001, pemain asing boleh masuk sebebasnya dari hulu sampai hilir. Saat ini, menurut DR Hendri Saparini, lebih dari 90% dari 120 kontrak production sharing kita dikuasai korporasi asing. Dari sekitar satu juta barrel per hari Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sedikit di atas Medco 75 ribu barrel. Itu pun, menurut pasal 22 ayat 1 UU Migas, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sebaliknya produksi terbesar adalah Chevron sekitar 450 ribu barrel per hari. Berdasar UU Migas yang radikal itu, pada 2004 sebanyak 105 perusahaan swasta mendapat izin untuk merambah sektor hilir migas. Termasuk membuka SPBU (Trust, edisi 11/2004).
Perusahaan itu antara lain British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). Mereka mulai beroperasi setelah pemerintah dua kali menaikkan harga BBM pada 2005.
Di bidang pertahanan-keamanan, kita diatur asing lewat program-program seperti IMET (dengan Amerika), DCA (Singapura), Densus 88 (AS), NAMRU 2 (AS). Proyek NAMRU 2, disebut Koordinator MER-C Dr Jose Rizal sebagai pangkalan militer AS di jantung Indonesia.
Asing juga menguasai bisnis mutiara, pelayaran, jasa perawatan, dan industri petrokimia. Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan dari sekitar 20-an industri petrokimia di Indonesia hanya empat yang dimiliki oleh pengusaha lokal. "Dari 20-an perusahaan petrokimia, hanya empat yang dimiliki lokal. Selebihnya Filipina, Taiwan, dan Korea," kata Menperin dalam seminar Indonesia Investor Forum 2 di Jakarta (Kapanlagi.com, 31 Mei 2007).
Membebaskan Diri
Tanggal 17 Agustus 2008 bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-63. Namun, peringatan itu menjadi hilang maknanya tatkala melihat kondisi bangsa kita saat ini yang masih memprihatinkan karena diatur dan dikuasai oleh Asing. Melalui bantuan para kompradornya asing terbukti telah menguasai hampir semua kekayaan alam kita. Termasuk mengendalikan arah kehidupan bangsa ini. Sungguh ironis.
Sebagai bangsa yang berdaulat tentu kita tidak ingin terus menerus berada dalam cengkraman asing tersebut. Karena itu bagi bangsa yang terjajah seperti Indonesia ini hanya satu jalan yang layak diupayakan, yaitu membebaskan diri dari penjajahan itu sehingga diraihnya kemerdekaan hakiki.
Kemerdekaan hakiki itu hanya bisa diraih dengan mengganti sistem kapitalis sekuler dengan sistem Islam. Sebab sistem kapitalis sekuler inilah yang terbukti telah melahirkan para pemimpin pembebek dan menghamba kepada materi sehingga rela menggadaikan kekayaan alam di negerinya.
Agar kita bisa membebaskan diri keterjajahan asing maka sekali lagi kita harus kembali kepada sistem Islam. Sistem Islamlah yang nanti akan membebaskan negeri ini dari penghambaan kepada manusia atau materi menuju penghambaan kepada Allah semata. Wallahualamu. [pendi/www.suara-islam.com]

Papua Milik Indonesia

Merdeka...!!!!!!!!!!!!!
Sekarang Papua bergejolak lagi, konflik tanpa akhir, pemicunya adalah Imperialis dan Kolonialis Amerika dan negara-negara barat yang ingin menguasai kekayaan alam yang melimpah tiada habis.
Ingat wahai saudara-saudara ku di Papua jangan termakan isu murahan yang di hembuskan oleh komperador-komperador asing melalui LSM-LSM yang tidak bertanggungjawab.
Ingat saudaraku yang beragama nasrani jangan mau diperalat oleh oknum-oknum gereja atas nama kebebasan untuk merdeka, lihat saudaraku Timoer Leste....!!! jadi apa sekarang, kondisinya semakin PARAH tidak ada kepastian untuk bertahan hidup.
sekali lagi tetap pertahankan Papau tercinta ku dalam pangkuan Ibu Pertiwi NKRI, MERDEKA