Demi Dolar Negeri Kujual

Tabloid SUARA ISLAM EDISI 48, Tanggal 18 - 31 Juli 2008 M/15 - 31 Rajab 1429 H
Dalam kasus Munir, kata Fadli Zon, kalangan LSM di dalam negeri hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing saja karena mereka mendapat banyak keuntungan dana asing. Pokoknya, demi dolar, kalau perlu negeri dijual.
Sinyalemen itu sudah menjadi rahasia umum. Pada edisi 16, 18, dan 19 April 2007, Kompas menurunkan liputannya menge-nai akuntabilitas LSM atau NGO. Laporan berangkat dari diskusi publik bertema ”Perlunya Mengaudit Agenda dan Sumber Dana Asing terhadap LSM yang merugikan Rakyat, Bangsa dan Negara” di Jakarta, 14 April 2007 yang digelar LSM Abdi Lestari Nusa.
Sejak 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati “surga” aliran dana asing (easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM-LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM.
Data Departemen Dalam Negeri mencatat, hingga 2002 jumlah LSM di Indonesia mencapai 13.500 lembaga. Belum termasuk yang tak tercatat. Dari jumlah tersebut, 90% di antaranya didanai pihak asing (Kompas, 13/1/2003).
Hasil penelitian Rustam Ibrahim pada 2005 atas 25 ornop -- sebagiannya adalah OSMS-- menjustifikasi fenomena itu. Mayoritas responden mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65% anggaran.
Richard Holloway lewat bukunya Menuju Kemandirian Keuangan (Yayasan Obor Indonesia, 2001), sudah mewanti-wanti LSM Indonesia untuk bersiap mandiri dan tidak bergantung terus pada dana asing. Diantaranya, dana asing membuat posisi LSM lemah secara politis. Terutama, ketika harus menepis tuduhan bahwa kegiatan mereka atas bayaran dan sesuai instruksi kekuatan asing yang mungkin saja dapat merugikan negara Indonesia.
Dana asing juga kontradiktif dengan upaya LSM-LSM untuk memfasilitasi kemandirian dan independensi kelompok-kelompok masyarakat sementara LSM itu sendiri tidak mandiri dan tidak independen.
Peringatan itu tak berlebihan. Counterpunch, sebuah newsletter portal Amerika, membeberkan bahwa sejumlah LSM di seluruh dunia yang didanai AS memang berfungsi sebagai instrumen untuk menyebarkan misi kebijakan AS di negara lain.
Menghubungkan kudeta yang terjadi di Georgia dengan operasi semacam itu, penulis Jacob Levich dalam artikelnya “When NGOs Attack” menunjukkan bagaimana LSM-LSM semacam itu “saat ini secara terbuka terintegrasi dalam keseluruhan strategi Washington untuk mengkonsolidasi supremasi global”.
Mengutip laporan dari Departemen Luar Negeri sebagai pendukung, Levich mengklaim bahwa sejumlah LSM yang tampak tidak berbahaya saat ini sedang memainkan peran penting dalam kebijakan “perubahan rejim” rekayasa AS, yang telah digariskan dalam National Security Strategy (NSS).
Levich membeberkan orga-nisasi United State Agency for International Development (US-AID) sebagai link utama dalam pendanaan badan-badan pe-ngembangan dan ratusan organi-sasi lain yang terlibat dalam kerja sosial. Di samping itu, terdapat sejumlah think tank yang didanai oleh asing.
Karena itu, ''Bubarkan LSM antek asing!'' Seruan ini menge-muka dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertajuk ''FPI, FBR, VS LSM Komprador'' di Wisma Dharmala Sakti, Juli 2007.
Diskusi yang dihadiri ratusan aktivis tersebut menghadirkan Ketua FPI Habib Rizieq Syihab, Munarman (mantan ketua YLBHI), dan KH Muhammad Al Khaththath (Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia).
Habib Rizieq Syihab menyatakan, setelah sekian lama dibiarkan LSM-LSM kaki tangan asing itu harus segera ditertibkan. ''LSM komprador juga telah melanggar UU No. 16/2001, yang mengharuskan LSM melaporkan bantuan asing yang diterimanya kepada pemerintah,'' ujar Habib, sambil mendesak agar pemerintah dan DPR menertibkan LSM antek asing.
Kontrol atas LSM antek sebenarnya sudah lama dilakukan pemerintah. Pada Desember 1991, Menko Polkam Sudomo menyatakan akan menindak LSM yang mencemarkan nama Indonesia di dunia internasional. Hal ini dipicu oleh makalah Dewan nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) dalam Konferensi Dewan Internasional untuk Kesejahteraan Sosial (ICSW) Asia Pasifik di Hongkong, akhir Agustus 1991. Dalam makalah itu, DNIKS menyebutkan, pembangunan listrik di Kedung Ombo hanya untuk orang berpunya, pembebasan becak di Jakarta untuk mobil mewah, serta penambahan dan penangkapan ikan di perairan Papua digambarkan bertentangan dengan prinsip keadilan dan melanggar keseimbangan lingkungan.
Pada 14 Januari 1992, Sudomo minta revisi UU No 8/1985 tentang Organisasi Massa. Tujuannya untuk mengontrol LSM semacam LBH dan Walhi. Dia mengancam menindak kedua LSM itu jika menerima bantuan dari luar negeri secara langsung, membantu orang asing melakukan kegiatan yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara, dan pencemaran nama baik bangsa di luar negeri.
Lalu April 1992, Pemerintah melarang LSM Indonesia menerima bantuan dari Pemerintah Belanda. Hal ini akibat pemerintah Belanda yang dinilai terlalu memojokkan dalam kasus 12 November 1991 di Dili, Timor Timur.
Pada 28 Agustus 1996, Mendagri Yogie SM meminta LSM mematuhi UU No 8/1985. Dia juga mensinyalir, ada LSM yang menghembuskan citra buruk pemerintah Indonesia ke dunia internasional.
Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam pidato tahunannya di Parlemen pada 26 April 2007, juga mengecam campur tangan asing di Rusia. Ia mengungkapkan adanya aliran uang asing yang membanjiri Rusia untuk mengintervensi dengan dalih demokrasi.
Tak kepalang tanggung, Vladimir Putin menumpas demon-strasi berbagai kelompok oposisi liberal anti-pemerintah yang didanai asing terutama Eropa. Para pemimpin oposisi, termasuk bekas juara dunia catur, Garry Kasparov, ditangkap. Ia pun menyerukan dibekukannya kesepakatan militer dengan Eropa atau Conventional Forces in Europe. [aya hasna/www.suara-islam.com]

0 komentar: