Perubahan yang SEJATI

Hasil Pemilu dan Khilafah Jalan Baru Dunia, termasuk Indonesia


Sebagian orang masih menganggap, bahwa pemilu adalah jalan perubahan. Karena, melalui pemilulah, mandat bagi penyelenggara negara itu diperbarui, baik bagi mereka yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif. Namun, bagi yang percaya bahwa pemilu merupakan jalan perubahan, kini harus gigit jari.
Pemilu kali ini, setidaknya berdasarkan perhitungan Quick Count LSI, menunjukkan, bahwa Partai Demokrat mendapatkan 20.27% suara, diikuti Golkar: 14.87% suara, PDIP: 14.14% suara, PKS: 7.81% suara, PAN: 6.05% suara, PPP: 5.32% suara, PKB: 5.25% suara, Gerindra: 4.21% suara, Hanura: 3.61% suara dan PBB: 1.65% suara (TVOne, 9/4/2009). Dengan hasil seperti ini, terbukti bahwa pemilu tidak membawa perubahan, bahkan semakin mengokohkan partai pemerintah, yaitu Partai Demokrat, Golkar, dan koalisi partai pemerintah, seperti PKS, PPP, PKB dan PBB.
Meski, dibayangi sejumlah masalah, mulai dari golput yang mencapai 40% dari 171.068.667 pemilih, kisruh DPT (daftar pemilih tetap) hingga kerusuhan di Abepura, Papua, namun hajatan demokrasi itu akhirnya toh tetap berjalan. Terlepas dari semuanya itu, ada yang menarik dari Anas Urbaningrum, Ketua DPP Partai Demokrat (9/4/2009), ketika mengomentasi kemenangan partainya, bahwa ini adalah bukti rakyat lebih percaya pada sesuatu yang sudah pasti, ketimbang coba-coba dengan sesuatu yang belum pasti. Di tempat terpisah, Tifatul Sembiring, Presiden PKS (9/4/2009), menampik anggapan bahwa ini bukti kalau partai Islam tidak laku. Sementara itu, Golkar, yang mengalami penurunan suara yang signifikan dalam pemilu kali ini, melalui Ketua Umumnya, Jusuf Kalla (9/4/2009), menengarai telah terjadi kecurangan dalam pemilu.
Iya, untuk menang, apapun memang bisa dilakukan. Mulai dari penurunan BBM menjelang pemilu, BLT hingga iklan. Dana ratusan milyar rupiah pun telah digelontorkan untuk iklan, baik di televisi, radio maupun koran. Semuanya itu dilakukan demi memoles citra partai, politisi dan figur sentralnya. Dengan begitu masifnya iklan yang ditayangkan, rakyat pun lupa akan kejahatan partai, politisinya, bahkan pejabat penyelenggara negara. Pendek kata, semua cara menjadi halal, demi meraih kemenangan. Celakanya, partai yang mengaku sebagai partai Islam pun ikut-ikutan. Sayangnya, meski semua identitas keislamannya telah dikorbankan, toh nyatanya tidak menang.
Di sisi lain, di luar gelanggang, ada juga segelintir orang yang menyerukan pemenangan Islam melaui pemilu. Padahal, mereka tahu bahwa belum pernah ada sejarahnya, Islam menang melalui pemilu. Sebut saja Masyumi dan NU, yang masing-masing memenangi 112 dan 91 kursi pada pemilu 1955, akhirnya toh tetap tidak bisa memerintah. Masyumi kemudian dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960. Cerita yang sama juga terjadi pada FIS di Aljazair. FIS yang menang pada pemilu 1991 putaran I, dan menguasai 81% kursi parlemen, dan menang telak pada pemilu putaran II pada tahun yang sama, akhirnya dibubarkan oleh junta militer. Cerita yang sama juga terulang pada Hamas, sebagai pemenang pemilu di Palestina.
Karena itu, mengharapkan terjadinya perubahan, apalagi kemenangan Islam melalui pemilu jelas tidak mungkin. Daripada berharap kepada sesuatu yang tidak mungkin, lebih baik seluruh potensi umat dikerahkan untuk membangun jalan baru, yaitu jalan yang pernah ditempuh oleh Nabi saw. dalam mewujudkan perubahan. Jalan yang terbukti telah mampu mengubah bangsa Arab, dari bangsa yang tidak mempunyai sejarah, sampai akhirnya menjadi pemimpin dunia.
Jalan baru ini bukan saja dibutuhkan oleh Indonesia, tetapi juga seluruh umat manusia di dunia. Betapa tidak, setelah Islam tidak lagi berkuasa, tepatnya setelah institusi Khilafah diruntuhkan pada tanggal 3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H, dunia nyaris dalam genggaman Kapitalisme dan Sosialisme. Hasilnya, sebelum krisis keuangan global, ada 4 milyar jiwa, atau separo penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan; 90% kekayaan dunia pun hanya dikuasai 20% penduduk dunia, sementara 10% sisanya harus dibagi 80% penduduk dunia yang lainnya. Ketika krisis keuangan menerpa dunia sejak 2007 hingga sekarang, para pemimpin G-7 tidak mampu memikul beban krisis tersebut. Mereka pun melibatkan para pemimpin G-20. Dalam pertemuan mereka di London baru-baru ini, disepakati paket stimulus ekonomi sebesar USD 5 triliyun. Lebih dari USD 700 milyar di antaranya digunakan untuk membantu IMF. Apa yang mereka sebut stimulus ekonomi, bailout maupun yang lain, nyatanya bukan untuk menyelamatkan kelompok 80% penduduk dunia, yang nota bene lebih membutuhkan, tetapi justru untuk membantu kelompok 20%, dan tidak lain untuk mempertahankan penjajahan mereka terhadap dunia.
Di Indonesia sendiri, pada tahun ini terdapat 10,24 juta rakyat mengganggur; 33 juta lebih hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan jika menggunakan standar Bank Dunia, angkanya bisa mencapai 100 juta orang; 90% kekayaan migas kita juga telah dikuasai oleh asing. Belum lagi kekayaan alam yang lainnya. Lihatlah, kekayaan alam kita yang melimpah ternyata hanya menyumbang 20% pendapatan di APBN, sementara 75% nya diperoleh dengan memalak rakyat, melalui pajak, sisanya 5% dari perdagangan, dan lain-lain.
>Inilah realitas sistem Kapitalisme Sekularisme dan Liberalisme yang mencengkram kehidupan kita. Pertanyaannya, masihkah kita berharap kepada sistem seperti ini, yang terbukti telah menghempaskan dunia, termasuk Indonesia, dalam jurang kehancuran? Orang yang berakal sehat, tentu akan menjawab tidak. Itulah mengapa, seorang Angela Merkel, Kanseler Jerman, beberapa waktu lalu pernah menyatakan, bahwa dunia membutuhkan sistem alternatif.
Benar. Dunia, termasuk Indonesia, memang membutuhkan sistem alternatif. Sistem itu adalah sistem Khilafah. Bukan yang lain. Bahkan, tesis ini pun berkembang di kalangan intelijen dan ahli strategi, “Setelah tesis Liberalisme-Kapitalisme gagal mensejahterakan dunia, kekhilafahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun Khilafah Universal. Hanya sistem inilah yang bisa mengatur dan mensejahterakan dunia, karena tatanan Sekular-Kapitalisme telah gagal.” ungkap AM Hendropriyono (Sabili, no 19 TH XVI, 9 April 2009, hal. 28). Tesis ini memang bukan hal baru. Bahkan ahli strategi AS dan Rusia, termasuk NIC, sebelumnya pernah menyatakan akan kembalinya Khilafah.
Inilah jalan baru yang dibutuhkan oleh dunia, termasuk Indonesia saat ini. Jalan yang akan mengubah wajah dunia yang didominasi kezaliman, menjadi wajah dunia yang adil dan makmur. Jalan itu pun telah dirintis oleh Hizbut Tahrir sejak tahun 1953. Dari bagian barat, ruangan Masjidil Aqsa, 56 tahun silam, jalan baru itu dirintis oleh seorang pemikir, politikus ulung dan mujtahid mutlak, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Kini jalan baru itu telah diemban oleh jutaan umat Islam, dan berkembang di lebih dari 40 negara. Sehingga ada yang mengatakan, Hizbut Tahrir saat ini telah menjelma menjadi kelompok politik terbesar di seluruh dunia, bukan hanya di dunia Islam, tetapi juga di Barat dan Timur. Tentu saja, semuanya ini berkat komitmen dan keteguhannya, dan pasti dengan izin dan pertolongan Allah SWT semata.
Hizbut Tahrir bersama umat Islam di seluruh dunia kini siap menyongsong kabar gembira, kembalinya Khilafah. “Pada saat itulah, hati seluruh kaum Mukmin akan bergembira, karena pertolongan Allah.” (Q.S. Ar-Rum [30]: 4-5)(Hafidz Abdurrahman) HIZBUTTAHRIR.CO.ID

Hillary Serukan Otonomi Papua (OCEHAN ORANG SINTING)

HATI-HATI DAN WASPADALAH RAKYAT INDONESIA,TENTANG BERITA-BERITA MIRING SAUDARA KITA DI TANAH PAPUA.


Hillary Serukan Otonomi Papua

Menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Rodham mengatakan, Indonesia perlu memberikan suatu “otonomi” di Papua

Saat berbicara di sidang dengar pendapat Kongres di Washington hari Rabu, Menlu Clinton menyatakan, pemerintah Presiden Barack Obama akan membicarakan masalah isi dengan Indonesia.

Clinton mengatakan, provinsi Papua “perlu didukung dalam upaya untuk mendapat suatu otonomi.”

Pernyataan ini dikeluarkan Menlu Clinton atas pertanyaan yang diajukan oleh Eni F.H. Faleomavaega, seorang delegasi tanpa suara dari Samoa di Kongres.

Faleomavaega dikenal sebagai pengkritik gencar Indonesia.

Jubir Deplu RI Teuku Faizasyah mengatakan kepada BBC: ” Amerika sudah sangat memahami perubahan mendasar yang terjadi di Papua dengan diberikannya otonomi yang luas.

“Tentunya kita ingin mengetahui kembali konteks penyampaian statement dari oleh Menlu Hillary Clinton. Apakah persis seperti yang apa disampaikan media atau nuansa yang luput kita ikuti,” tambah jubir Deplu.

Provinsi Papua (yang sebelumnya bagian dari Irian Jaya) menjadi bagian wilayah Indonesia setelah dilepaskan oleh Belanda tahun 1963. Pemerintah Indonesia kemudian harus menghadapi gerakan separatis berskalasi kecil hingga saat ini.

Tersangka separatis

Sementara itu, dalam perkembangan lain, pemerintah Indonesia memerintahkan Komite Palang Merah Internasional, ICRC, menutup kantornya di Papua setelah anggota staff ICRC membesuk tersangka separatis di tahanan.

Kepala delegasi ICRC di Indonesia, Vincent Nicod mengatakan, empat angoota staff ditarik dari ibukota Papua, Jayapura, pertengahan Maret, dan kini lembaganya tengah berunding untuk menemukan solusi.

Seperti dikutip kantor berita AP, jurubicara Deplu Teuku Faizasyah mengatakan, Staff ICRC yang ditarik itu mengunjungi sejumlah tersangka aktivis separatis dan menyewa tempat tanpa mengajukan persetujuan kepada pemerintah.

“Kami tidak pernah memberikan izin kepada ICRC untuk memiliki kantor cabang di Papua,” kata Faizasyah. “Kami telah menghentikan kegiatan ICRC di Papua.”

Humas ICRC Indonesia, Layla Berlemont mengatakan kepada BBC bahwa kesepakatan terakhir mengenai operasi organisasinya di Indonesia dicapai tahun 1977 dan 1987 lalu.

Dengan demikian, menurut Layla Berlemont, wajar saja jika pemerintah Indonesia sekarang ingin merundingkan kembali kesepakatan baru. (BBC News)

Selamat Menjalan Ibadah Puasa

Assalamu'alaikum,
Kami Tim papuacare mengucapkan selamat menjalankan Ibadah Puasa semoga amal ibadahnya diterima Alloh Subhanahuwata'ala. Amiin.
papuacare

Demi Dolar Negeri Kujual

Tabloid SUARA ISLAM EDISI 48, Tanggal 18 - 31 Juli 2008 M/15 - 31 Rajab 1429 H
Dalam kasus Munir, kata Fadli Zon, kalangan LSM di dalam negeri hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing saja karena mereka mendapat banyak keuntungan dana asing. Pokoknya, demi dolar, kalau perlu negeri dijual.
Sinyalemen itu sudah menjadi rahasia umum. Pada edisi 16, 18, dan 19 April 2007, Kompas menurunkan liputannya menge-nai akuntabilitas LSM atau NGO. Laporan berangkat dari diskusi publik bertema ”Perlunya Mengaudit Agenda dan Sumber Dana Asing terhadap LSM yang merugikan Rakyat, Bangsa dan Negara” di Jakarta, 14 April 2007 yang digelar LSM Abdi Lestari Nusa.
Sejak 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati “surga” aliran dana asing (easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM-LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM.
Data Departemen Dalam Negeri mencatat, hingga 2002 jumlah LSM di Indonesia mencapai 13.500 lembaga. Belum termasuk yang tak tercatat. Dari jumlah tersebut, 90% di antaranya didanai pihak asing (Kompas, 13/1/2003).
Hasil penelitian Rustam Ibrahim pada 2005 atas 25 ornop -- sebagiannya adalah OSMS-- menjustifikasi fenomena itu. Mayoritas responden mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65% anggaran.
Richard Holloway lewat bukunya Menuju Kemandirian Keuangan (Yayasan Obor Indonesia, 2001), sudah mewanti-wanti LSM Indonesia untuk bersiap mandiri dan tidak bergantung terus pada dana asing. Diantaranya, dana asing membuat posisi LSM lemah secara politis. Terutama, ketika harus menepis tuduhan bahwa kegiatan mereka atas bayaran dan sesuai instruksi kekuatan asing yang mungkin saja dapat merugikan negara Indonesia.
Dana asing juga kontradiktif dengan upaya LSM-LSM untuk memfasilitasi kemandirian dan independensi kelompok-kelompok masyarakat sementara LSM itu sendiri tidak mandiri dan tidak independen.
Peringatan itu tak berlebihan. Counterpunch, sebuah newsletter portal Amerika, membeberkan bahwa sejumlah LSM di seluruh dunia yang didanai AS memang berfungsi sebagai instrumen untuk menyebarkan misi kebijakan AS di negara lain.
Menghubungkan kudeta yang terjadi di Georgia dengan operasi semacam itu, penulis Jacob Levich dalam artikelnya “When NGOs Attack” menunjukkan bagaimana LSM-LSM semacam itu “saat ini secara terbuka terintegrasi dalam keseluruhan strategi Washington untuk mengkonsolidasi supremasi global”.
Mengutip laporan dari Departemen Luar Negeri sebagai pendukung, Levich mengklaim bahwa sejumlah LSM yang tampak tidak berbahaya saat ini sedang memainkan peran penting dalam kebijakan “perubahan rejim” rekayasa AS, yang telah digariskan dalam National Security Strategy (NSS).
Levich membeberkan orga-nisasi United State Agency for International Development (US-AID) sebagai link utama dalam pendanaan badan-badan pe-ngembangan dan ratusan organi-sasi lain yang terlibat dalam kerja sosial. Di samping itu, terdapat sejumlah think tank yang didanai oleh asing.
Karena itu, ''Bubarkan LSM antek asing!'' Seruan ini menge-muka dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertajuk ''FPI, FBR, VS LSM Komprador'' di Wisma Dharmala Sakti, Juli 2007.
Diskusi yang dihadiri ratusan aktivis tersebut menghadirkan Ketua FPI Habib Rizieq Syihab, Munarman (mantan ketua YLBHI), dan KH Muhammad Al Khaththath (Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia).
Habib Rizieq Syihab menyatakan, setelah sekian lama dibiarkan LSM-LSM kaki tangan asing itu harus segera ditertibkan. ''LSM komprador juga telah melanggar UU No. 16/2001, yang mengharuskan LSM melaporkan bantuan asing yang diterimanya kepada pemerintah,'' ujar Habib, sambil mendesak agar pemerintah dan DPR menertibkan LSM antek asing.
Kontrol atas LSM antek sebenarnya sudah lama dilakukan pemerintah. Pada Desember 1991, Menko Polkam Sudomo menyatakan akan menindak LSM yang mencemarkan nama Indonesia di dunia internasional. Hal ini dipicu oleh makalah Dewan nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) dalam Konferensi Dewan Internasional untuk Kesejahteraan Sosial (ICSW) Asia Pasifik di Hongkong, akhir Agustus 1991. Dalam makalah itu, DNIKS menyebutkan, pembangunan listrik di Kedung Ombo hanya untuk orang berpunya, pembebasan becak di Jakarta untuk mobil mewah, serta penambahan dan penangkapan ikan di perairan Papua digambarkan bertentangan dengan prinsip keadilan dan melanggar keseimbangan lingkungan.
Pada 14 Januari 1992, Sudomo minta revisi UU No 8/1985 tentang Organisasi Massa. Tujuannya untuk mengontrol LSM semacam LBH dan Walhi. Dia mengancam menindak kedua LSM itu jika menerima bantuan dari luar negeri secara langsung, membantu orang asing melakukan kegiatan yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara, dan pencemaran nama baik bangsa di luar negeri.
Lalu April 1992, Pemerintah melarang LSM Indonesia menerima bantuan dari Pemerintah Belanda. Hal ini akibat pemerintah Belanda yang dinilai terlalu memojokkan dalam kasus 12 November 1991 di Dili, Timor Timur.
Pada 28 Agustus 1996, Mendagri Yogie SM meminta LSM mematuhi UU No 8/1985. Dia juga mensinyalir, ada LSM yang menghembuskan citra buruk pemerintah Indonesia ke dunia internasional.
Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam pidato tahunannya di Parlemen pada 26 April 2007, juga mengecam campur tangan asing di Rusia. Ia mengungkapkan adanya aliran uang asing yang membanjiri Rusia untuk mengintervensi dengan dalih demokrasi.
Tak kepalang tanggung, Vladimir Putin menumpas demon-strasi berbagai kelompok oposisi liberal anti-pemerintah yang didanai asing terutama Eropa. Para pemimpin oposisi, termasuk bekas juara dunia catur, Garry Kasparov, ditangkap. Ia pun menyerukan dibekukannya kesepakatan militer dengan Eropa atau Conventional Forces in Europe. [aya hasna/www.suara-islam.com]

Konspirasi Mengancam Keutuhan NKRI

Tabloid SUARA ISLAM EDISI 48, Tanggal 18 - 31 Juli 2008 M/15 - 31 Rajab 1429 HIntervensi asing kian hari kian tampak. Simbiosis kekuatan dari luar dan dari dalam mencoba mengarahkan perjalanan bangsa ke arah kehancuran. Ada konspirasi di dalamnya?
Kasus Munir memasuki babak baru. Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono ditangkap polisi 19 Juni lalu. Ia didakwa terlibat kasus pem-bunuhan Munir. Banyak pihak berharap tertangkapnya Muchdi bisa menguak misteri yang sudah sekitar 4 tahun tertutup, siapa di balik pembunuhan Munir.
Pengadilan telah menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda. Namun vonis tersebut belum mengungkap secara gamblang skenario besar di balik pem-bunuhan itu. Masih banyak pertanyaan yang muncul. Benarkah pembunuhan itu atas perintah Muchdi sendiri atau dia bekerja dengan kelompoknya sendiri, ada institusi lain yang terlibat, atau ada kekuasaan yang lebih besar yang meme-rintahkan, sampai adakah permainan asing dalam skenarionya. Banyak pihak berharap pengadilan terdakwa Muchdi akan menjawabnya. Soalnya kasus ini berlarut-larut dan memunculkan campur tangan asing yang begitu kuat.
Namun ada juga yang pesimis kasus pembunuhan aktivis HAM itu menjadi terang benderang. Siapa operator kasus ini dinilai tetap suram.
Pengamat intelijen AC Manullang menilai penangkapan itu tergolong luar biasa. ''Apa yang dinamakan unsolved political cricis mulai muncul," kata mantan Direktur Bakin tersebut. Ia yakin Muchdi tidak akan 'nyanyi' yang meli-batkan lembaganya itu. "Jangan dipaksa dia untuk menceritakan yang mengada-ada. Tidak mungkin ia akan beberkan, sampai mati sekali pun. Dia itu orang intelijen. Tidak bisa intelijen beberkan aksi intelijen," ujarnya seperti dikutip sebuah situs berita.
Manullang yakin, BIN hanya kambing hitam. Ia menduga kasus Munir meli-batkan agen intelijen yang lebih besar mengingat Munir tewas diracun di dalam pesawat dan yang mengherankan pene-litian racun di tubuh Munir dilakukan di Belanda, bukan di Indonesia. "Kalau intelijen lokal tidak usah jauh-jauh membungkam Munir di pesawat menuju Eropa, di dalam negeri juga bisa. Ini (pembunuhan) bisa terjadi karena aksi intelijen yang canggih," ujarnya.
Kasus Munir, lanjutnya, menyangkut grand design besar dari pihak asing, terutama AS dan Australia. Dengan menggulirkan kasus ini ke isu HAM, jelas sasaran tembaknya adalah untuk me-mojokkan TNI. "Kenapa TNI harus dipojokkan, karena awal-awal TNI AD-lah yang paling solid untuk memimpin Indo-nesia. Jadi unsur politiknya juga kental. Asing maunya pemimpin yang mau meng-ikuti aturan main neokolonialisme dan neoliberalisme," ujarnya.
Kasus Munir memang telah menjadi kasus internasional. Sampai-sampai pa-da sebanyak 50 anggota Kongres AS mengirim surat kepada Presiden SBY perihal kasus Munir pada 27 Oktober 2005. Mereka bilang, Kongres AS peduli terhadap HAM dan menaruh perhatian pada pembunuhan dan investigasi kasus Munir. Mereka juga mendukung ter-bentuknya tim pencari fakta (TPF) kasus Munir. Internasionalisasi ini kian kentara setelah istri Munir, Suciwati, berkunjung ke AS pada Oktober 2006. AS langsung beraksi. Duta Besar AS untuk Indonesia, B Lynn Pascoe, pada 12 Oktober 2006 menyatakan bahwa AS menyayangkan bahwa tak seorang pun dijatuhi hukuman atas kasus pembunuhan Munir. Pada 3 November 2006, dalam surat yang ditan-datangani empat anggota Kongres AS, dinyatakan bahwa Kongres AS menya-takan kecewa karena penanganan kasus pembunuhan Munir "berjalan di tempat". Eropa pun tak ketinggalan. Ketua Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso, pun mena-nyakan kasus ini kepada Presiden SBY saat KTT ASEM di Finlandia, September 2006. Suciwati pun terus keliling ke Belgia, Kanada, Australia, dan Belanda. Tak cukup itu, Suciwati pun ke PBB.
Pada 10 Juni 2006 Sekretaris Jenderal PBB, Hina Jilani, ke kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Keke-rasan (Kontras) di Jakarta, Sabtu (9/6/2007). Jilani mengunjungi Kontras untuk mencari data terbaru kasus Munir. Kedatangan Jilani dianggap sebagai tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus ini. Bagai-mana tidak, kasus kematian satu orang ini seolah menjadi lebih penting dari kema-tian ribuan orang Muslim yang terjadi di Indonesia sebelumnya. Ingat kasus Ambon, Halmahera, Poso, dan sebagai-nya. Tidak ada kepedulian sedikitpun dari lembaga-lembaga yang katanya membela HAM. Bahkan sekitar 650 ribu orang Irak yang mati di depan mata mereka, Barat tak peduli dan seolah menutup mata.
Intervensi
Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia menunjukkan negeri ini tak lagi memiliki kedaulatan sebagai sebuah negara. Banyak tangan asing begitu mudahnya mendikte pemerintah, bahkan langsung bermain sendiri di tengah-tengah masyarakat. Malah banyak lem-baga lokal yang bekerja untuk kepen-tingan orang asing karena kepentingan perut.
Intervensi asing di Indonesia ini tidak lepas dari upaya untuk melemahkan Indonesia. Pengamat intelijen Wawan Purwanto menduga, intervensi asing da-lam kasus Munir, misalnya, dimaksudkan untuk melemahkan intelijen Indonesia. ''Setelah TNI dan Polri, yang dibidik selanjutnya adalah intelijen,'' katanya. Menurutnya, TNI, Polri, dan intelijen adalah tulang punggung pertahanan dan keamanan nasional Indonesia.
Memang, selama ini sasaran inter-vensi tersebut masih bersifat personal, belum institusi. ''Tapi sebenarnya, sasarannya adalah ke sana (institusi),'' katanya.
Wawan mengatakan, Indonesia ada-lah negara besar. Kekuatan asing tidak ingin Indonesia ini kuat karena bisa membahayakan mereka. Maka mereka berusaha dengan berbagai cara agar Indonesia lemah. Wujudnya adalah me-munculkan konflik-konflik horizontal. Asing bisa menggunakan tangan siapa saja yang bisa dibenturkan. ''Yang bisa dibenturkan, dibenturkan. Makanya ja-ngan mudah terpancing dan ter-provokasi,'' tandasnya.
Bahkan upaya asing itu tidak hanya ingin melemahkan Indonesia, malah ingin memecah belah Indonesia menjadi negara-negara kecil. Niat jahat itu terlontar di berbagai pertemuan inter-nasional di luar negeri. ''Saya mendengar sendiri. Itu riil ada,'' tandasnya. Mereka, kata Wawan, menghitung panjang Indo-nesia itu mulai dari London hingga Bagdad di mana itu terdiri atas lebih dari enam negara. Sementara Indonesia hanya sendiri (satu kesatuan). Mereka meng-anggap Indonesia terlalu besar. Proses Balkanisasi bukan tidak mungkin akan terjadi jika Indonesia semakin hari kian lemah karena diobok-obok asing dan antek-anteknya di negeri ini. ''Kalau ini (Balkanisasi-red) dikampanyekan terus, kita bisa bubar. Makanya kita harus meningkatkan terus kekuatan ekonomi dan rasa kebangsaan kita,'' tandasnya.
Kaki Tangan
Asing tidak bekerja sendiri di Indo-nesia. Mereka memiliki kaki tangan yang bekerja sesuai pesanan tuan-tuannya. Mantan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Munarman mengungkapkan, hampir semua sektor telah dimasuki oleh agen-agen asing. Mereka bekerja dengan sangat sistematis. Di bidang ekonomi, misalnya ada Mafia Berkeley. Ada lembaga-lem-baga kajian politik dan pemerintahan, sosial, kebudayaan, hingga lembaga kajian keagamaan. Ada yang berupa institusi resmi atau sekadar kelompok masyarakat.
Keberadaan lembaga swadaya masya-rakat (LSM) pun tak luput dari intervensi asing ini. Kebanyakan mereka hidup dari dana asing. Malah data dari Departeman Dalam Negeri pernah menyebut 90 persen LSM hidup dari donor luar negeri. Maka, sangat mungkin mereka bekerja bagi kepentingan yang membiayainya. ''Kan tidak ada makan siang yang gratis,'' kata Wawan. Mereka bergerak sesuai dengan pesanan dan skenario yang telah disiapkan.
Satu di antara lembaga yang mem-punyai andil besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies). LSM yang didirikan tahun 1971 ini merupakan think tank kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru di bawah Soeharto. Pendirinya antara lain Ali Moertopo, Soedjono Humardhani, Harry Tjan Silalahi, Josephus Beek, dan Daoed Joesoef. Tokohnya sekarang seperti M Hadi Soesastro, Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie), Marie Elka Pangestu, Indra J Piliang,dan J Kristiadi. Mereka sangat berkuasa pada masa Orde Baru. Orang-orangnya duduk di pemerintahan dan militer, sebut saja antara lain JB Sumarlin, Benny Murdani, Ali Moertopo, Daoed Joesoef, dan lainnya. Bahkan keberadaan kelompok CSIS ini masih eksis sampai sekarang di berbagai sektor penting. Pengaruhnya masih cukup besar. Ini tidak lepas dari adanya dukungan dana dari luar negeri.
Begitu mengakarnya pengaruh mere-ka, hampir semua rezim pasti mem-perhatikan masukan-masukan kelompok ini. Di era Soeharto justru mereka inilah yang menyusun Master Plan Pem-bangunan Bangsa Indonesia. Di dalam-nya, menurut almarhum Hussein Umar, terkandung strategi untuk melemahkan Islam Indonesia.
Bahkan mereka pula yang menen-tukan siapa yang harus memimpin Indonesia. Munarnan, mantan Direktur YLBHI, menceritakan menjelang Pemilu Presiden 2004, CSIS mengumpulkan LSM-LSM berpengaruh di Indonesia di kantor CSIS Tanah Abang. Banyak perwakilan LSM yang hadir termasuk organisasi kepemudaan Islam seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan IPM (Ikatan Pemuda Muhammadiyah). Rapat itu dipimpin oleh Jusuf Wanandi dan Hadi Soesastro. Dua tokoh ini belakangan diketahui masuk dalam daftar anggota Trilateral Commission, sebuah organisasi yang terkait dengan jaringan Yahudi inter-nasional (Freemansonry) yang ingin menjadikan dunia dalam genggaman mereka.
Pertemuan itu, lanjut Munarman, membahas siapa presiden yang tepat bagi Indonesia. Megawati dianggap tidak layak untuk menjadi presiden lagi karena dianggap tidak ada kemajuan. ''Kita harus ada strong government,'' kata salah satu dari keduanya. Selanjutnya Hadi Soe-sastro mempertanyakan kepada para aktivis LSM dan pemuda. ''You mau dipimpin oleh Wiranto, karena kalau ke luar negeri dia langsung ditangkap setiap saat oleh polisi internasional? Ini kan bisa memalukan bangsa,'' kata Munarman menirukan Hadi.
Karena rapat tidak memunculkan kesepakatan, siapa yang tepat dipilih jadi presiden, maka Jusuf Wanandi langsung mengambil inisiatif untuk menyebut langsung presiden yang harus didukung, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Dia meminta SBY didukung, minimal dia tidak diserang selama proses pemilu presiden. Namun ada empat orang waktu itu yang menolak yakni Munarman, Munir, Rachland Nashidik, dan Rizal Sukma. Mereka menolak mendukung militer dengan alasan saat itu adalah eranya sipil. Justru akhirnya diketahui Munir menjadi juru kampanye Amien Rais.
Seperti main bola, telah terjadi pembagian posisi antara antek-antek asing di Indonesia. Abdurrahman Wahid menjadi pemain di bidang sosial keagamaan. Tak mengagetkan bila Gus Dur mendapat hadiah Medal of Valor (Medali Keberanian) dari Shimon Wiesenthal Center (SWC) di Los Angeles, AS. Kedatangannya ke sana sekaligus ikut merayakan hari kemerdekaan Israel. Gus Dur dianggap sebagai sahabat paling setia dan paling berani terang-terangan men-jadi pelindung kaum Zionis-Yahudi dunia di sebuah negeri mayoritas Muslim terbesar seperti Indonesia. Selain hadiah medali mantan presiden RI ini mem-peroleh sejumlah uang.
Sebelumnya, kaum jaringan Yahudi juga memberikan hadiah kepada Goe-nawan Mohamad, bos media Tempo, sekaligus gembong kelompok liberal di Indonesia. April lalu GM, begitu dia biasa disebut, menerima penghargaan 'Dan David Prize' oleh Tel Aviv University. Penghargaan itu didasarkan kepada aktivitas Goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebas-an pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Bersama itu dia memperoleh uang senilai 250 ribu dolar AS (sekitar Rp 2,3 milyar). Sebe-lumnya pada tahun 1992 ia sempat dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw dari Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1998, dia menerima penghargaan internasional dalam hal Kebebasan Pers dari Komite Pelindung Jurnalis. Setahun kemudian, dia menerima penghargaan dari World Press Review, Amerika Seri-kat, untuk kategori Editor Internasional. Menurut sumber Suara Islam, dia adalah agen utama Amerika di Indonesia.
Melalui media Tempo yang dimili-kinya, Goenawan sukses menggerakkan proses sekularisasi di Indonesia. Dia berperan besar 'membesarkan' Abdur-rahman Wahid dan Nurcholis Madjid, sebagai lokomotif liberalisasi Islam di Indonesia. Kini giliran Ulil Abshar Abdalla cs yang diberi tempat untuk merusak negeri ini. Tokoh-tokoh liberal kemudian berhimpun dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di kalangan LSM, muncul LSM yang menyuarakan kepentingan asing ketim-bang kepentingan nasional. Dulu ada Solidamor (Solidaritas untuk Rakyat Timor Timur) yang sukses memper-juangkan kemerdekaan Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-nesia. Beberapa mantan aktivisnya kini ada di beberapa LSM lainnya dengan suara perjuangan yang berbeda. Seolah mereka tak merasa bersalah mencabik-cabik negeri dia sendiri.
LSM hukum dan HAM yang tam-paknya kini mendapat tempat. The Asia Foundation, Ford Foundation, USAID, AusAID, Yayasan Tifa, dan lembaga dunia lainnya mengucurkan milyaran rupiah untuk mendukung gerakan LSM tersebut. 1 Juni tahun lalu, aliansi LSM hukum dan HAM menulis laporan tentang diskri-minasi rasial di Indonesia. Laporan itu tentu dibuat sebagai laporan bagi pemberi dana (donor). Dalam laporan setebal 62 halaman berjudul: “Breaking the smoke-screen of Racial Discrimination and Im-punity in Indonesia”, mereka melaporkan berbagai diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Di antaranya adalah mun-culnya peraturan daerah yang bernuansa Islam. Misalnya Perda di Bulukumba, Sulawesi Selatan, tentang baca tulis Alquran, Perda pakaian bagi Muslim, dan perda tentang minuman keras. Perda baca tulis Alquran dan miras dianggap melang-gar komunitas Kajang yang suka minum tuak. Mereka seolah menutup mata atas hasil yang dicapai dengan adanya Perda tersebut di Bulukumba.
Selain itu, dalam laporannya, aliansi LSM di antaranya Elsam, Kontras, PHBI, LBH Jakarta, Foker LSM Papua, LAPAR, PIAR NTT, HRWG, GANDI, LADI, PKBH Bengkulu, dan MADIA ini juga menyoroti diskriminasi rasial di Papua. Diskriminasi ini mereka katakan terjadi sejak zaman Belanda, Jepang, hingga sekarang. Orang Papua dikatakan tidak memiliki akses mengatur urusannya misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Program transmigrasi ke Papua juga dikatakan mengusir warga ke gunung-gunung. Mereka juga menentang langkah pemerintah memberantas OPM di Papua.
Pembelaannya terhadap Ahmadiyah juga sangat kentara. Mereka mereko-mendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan Badan Koordinasi Peng-awas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Lembaga ini dianggap tidak memberi jaminan kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan keya-kinannya secara bebas.
Fakta ini, menurut Munarman, me-nunjukkan LSM-LSM itu merancang program berdasarkan program yang ada pada lembaga-lembaga pendanaan atau funding-funding agency. ''Yang sudah tentu lembaga-lembaga itu adalah per-panjangan tangan atau alat dari sebuah pemerintahan global yang dikendalikan Zionisme, Freemansonry dan Illuminati,'' katanya.
Mereka berkoar-koar sebenarnya hanyalah berdasarkan kepentingan. ''Omong kosong kalau tokoh-tokoh itu berbicara tentang kebhinekaan, tentang ke-Indonesiaa atau tentang kebangsaan,'' tandasnya. Mereka ini bekerja karena urusan perut, urusan duit, dan kepentingan asing.
Sesuai dengan agenda kapitalisme global, mereka bergerak untuk melawan siapapun yang berjuang untuk menegak-kan syariat Islam. Tak heran jika mereka menakut-nakuti umat dengan bilang bahwa penerapan syariat Islam akan memecah belah bangsa. Padahal sebenar-nya mereka itulah yang patut diwaspadai karena mereka tidak memiliki jati diri sebagai anak bangsa. Mereka adalah begundal asing untuk menjerumuskan negeri ini ke jurang kehancuran. Di tangan-tangan merekalah, hampir 60 tahun lamanya, Indonesia tetap saja berada dalam kondisi terbelakang. Krisis akibat ideologi kapitalisme-sekuler yang mereka agung-agungkan tak pernah terselesaikan hingga sekarang.
Karena itu, menurut Wawan Pur-wanto, semua elemen masyarakat harus waspada terhadap intervensi asing ini. Keutuhan wilayah negeri harus tetap dijaga. Dan itu, kata Munarman, bisa dijaga dengan penerapan syariat Islam, karena tidak ada agenda satupun dari penegakan syariat Islam untuk memecah belah NKRI. Justru dengan syariat Islam NKRI makin kuat, berkah, dan berwibawa. Insyaallah. [mujiyanto/www.suara-islam.com]

Asing Manfaatkan Isu Papua Agar Tetap Kuasai SDA

Belum selesai kasus pengiriman surat 40 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) berbau intervensi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal OPM, bumi Papua digemparkan kembali dengan pengibaran bendera bintang kejora di Wamena, Sabtu (9/8). Kejadian ini sarat dengan kepentingan asing yang ingin tetap mempertahankan penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) di sana.
“Setelah Aceh, Papua menjadi isu daya tawar pihak asing. Mereka dalam hal ini tidak ingin melepas SDA di sana,” ujar pengamat intelejen Y. Herman Ibrahim pada Suara Islam, Senin (11/8). Herman menambahkan, dalam setiap aktivitas politik selalu tak pernah ada yang benar-benar murni keinginan satu kelompok semata. Dalam kasus Papua, keterlibatan pihak asing memang tercium sangat kuat.
Apalagi saat ini bangsa kita sedang bersiap-siap menghadapi Pemilu 2009. Banyak calon Presiden yang berbicara soal peninjauan ulang kontrak kerja dengan PT Freeport di Papua. Bahkan, ada pula yang berani berteriak nasionalisasi perusahaan AS itu. “Mereka pun memainkan isu separatisme Papua,” lanjut Herman.
Pihak asing, dalam hal ini AS dan sekutunya, sengaja membiarkan isu separatisme Papua tetap ada. Kalau pun ada kepentingan masyarakat di sana yang merasa diberlakukan tidak adil dan berbeda ras dengan masyarakat Indonesia kebanyakan, hal itu sudah ditunggangi.
“Kita juga tak pernah pandai mendekati masyarakat Papua,” tambahnya lagi.
Pemerintah Indonesia juga dinilai terlalu lemah menghadapi konspirasi asing ini. Hal tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh mereka untuk secara terus-menerus menekan bangsa kita agar tetap tunduk dan memenuhi keinginan mereka.
“Inilah pemerintah kita yang selalu mengekor pada kepentingan global. Pemerintah yang menuruti kepentingan zionis internasional,” tegasnya.
Menanggapi surat 40 anggota Kongres AS yang meminta pembebasan dua tokoh OPM, Herman menyayangkan sikap pemerintah yang tak menampakkan ketegasannya. “Seharusnya SBY dapat meyakinkan rakyatnya bahwa pemerintah tak bisa diintervensi,” ungkap Herman.
Sayangnya, pemerintah justru lambat merespon dengan alasan surat tersebut belum sampai. “Mensesneg bilang suratnya belum diterima Sesneg. Padahal seharusnya soal administratif seperti ini tak perlu dipermasalahkan. Presiden mestinya bisa menjawab dengan jawaban politik,” pungkasnya. [ihsan/www.suara-islam.com]

Anggota Kongres AS Hobinya Kirim Surat dan Campuri Urusan Negara Lain

Pengiriman surat dari 40 anggota Kongres AS kepada Pemerintah Indonesia merupakan hal yang biasa. Anggota DPR RI Abdillah Toha mengatakan, sudah menjadi kebiasaan mereka mengirimi surat yang isinya mencampuri masalah-masalah yang terjadi di negara lain. “Mereka hobinya memang nulis surat ke negara-negara di dunia,” ujarnya.
Pemerintah tak perlu menanggapi surat tersebut secara berlebihan. Kalau pun mau, cukup Kementrian Luar Negeri saja yang menanggapi dengan menyatakan bahwa anggota Kongres AS itu tak bisa mengintervensi hukum di Indonesia. “Takutnya jika pemerintah RI bereaksi terlalu besar, mereka menjadi besar kepala,” kata Abdillah di sela-sela pertemuannya dengan rombongan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Senin (11/8) di gedung DPR, Jakarta.
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, salah satu Ketua DPP HTI Farid Wadjdi memberikan saran agar anggota DPR sebaliknya rajin pula mengirimkan surat pada Kongres AS menyatakan bahwa negara kita tak mau diintervensi. Saran ini ditanggapi positif. Abdillah mengaku pihaknya belum pernah berfikir sejauh itu.
Sementara itu, terkait dengan isi surat anggota Kongres AS yang menyinggung masalah HAM di Papua, Abdillah menilai sesungguhnya AS sudah tidak punya otoritas moril untuk mengatur permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia. Karena, AS sendiri merupakan pelanggar HAM terberat dunia. Oleh karena itu, daripada mengurusi HAM negara lain, lebih baik AS membenahi HAM di negerinya sendiri terlebih dahulu.
HTI sendiri merasa khawatir dengan reputasi pemerintah Indonesia cukup buruk dalam menyikapi intervensi yang dilakukan asing, khususnya AS. Juru Bicara HTI Ismail Yusanto mengambil contoh kasus blok Cepu dimana tanpa ada satu pun dasar yang rasional baik secara historis, yuridis maupun ekonomis bagi pemerintah tapi tetap saja diserahkan pada Exxon Mobil. Hal ini disebabkan intervensi yang cukup kuat dilakukan oleh pemerintah AS. “Belum lagi Condoliza Rize mendarat, blok Cepu sudah diserahkan,” ungkapnya.
Ismail Yusanto menegaskan kedatangan HTI ke gedung DPR untuk menyampaikan penentangan terhadap intervensi AS dan kekhawatiran pada gerakan separatisme. Sikap ini merupakan bagian dari gagasan Khilafah. Substansi Khilafah adalah syariah dan ukhuwah. Perwujudan ukhuwah ini salah satunya adalah persaudaraan dalam kesatuan wilayah. Oleh karenanya, HTI bersikap tegas menolak segala upaya pemisahan wilayah kesatuan negeri ini. Argumennya, kaum muslimin diperintahkan oleh Allah untuk bersatu, sementara fakta kaum muslimin saat ini telah berpecah belah. “Bagaimana kalau sudah pecah, pecah lagi. Tentu ini sangat membahayakan,” ujarnya.
Ketua Umum DPP HTI Hafidz Abdurrahman menyatakan fakta adanya jaringan kuat di balik kelompok separatis disadari betul oleh HTI. Hal ini mengingatkan pada sejarah disintegrasi yang terjadi di beberapa wilayah Khilafah Turki Utsmani hingga keruntuhannya. Salah satu faktor terjadinya Disintegrasi itu karena pengaruh kaum misionaris. Kasus yang sama terjadi pula di Timor Timur. Oleh karenanya, HTI mengingatkan pada kaum Nasrani bahwa sesungguhnya kepentingan AS dan negara-negara imperialis lainnya bukanlah untuk kepentingan Kristen namun semata-mata hanya untuk mengeruk kekayaan yang ada.
HTI menyerukan pada kaum Kristen di Papua dan di wilayah lain bahwa upaya separatisme yang dilakukan hanyalah akan merugikan diri mereka sendiri. Kaum Kristen juga diingatkan supaya tidak mau diperalat demi kepentingan negara-negara imperialis tersebut. HTI juga mengingatkan pada kaum muslimin di Papua supaya berjuang agar Papua tidak lepas dari Indonesia. [ihsan/www.suara-islam.com]