Belum selesai kasus pengiriman surat 40 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) berbau intervensi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal OPM, bumi Papua digemparkan kembali dengan pengibaran bendera bintang kejora di Wamena, Sabtu (9/8). Kejadian ini sarat dengan kepentingan asing yang ingin tetap mempertahankan penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) di sana.
“Setelah Aceh, Papua menjadi isu daya tawar pihak asing. Mereka dalam hal ini tidak ingin melepas SDA di sana,” ujar pengamat intelejen Y. Herman Ibrahim pada Suara Islam, Senin (11/8). Herman menambahkan, dalam setiap aktivitas politik selalu tak pernah ada yang benar-benar murni keinginan satu kelompok semata. Dalam kasus Papua, keterlibatan pihak asing memang tercium sangat kuat.
Apalagi saat ini bangsa kita sedang bersiap-siap menghadapi Pemilu 2009. Banyak calon Presiden yang berbicara soal peninjauan ulang kontrak kerja dengan PT Freeport di Papua. Bahkan, ada pula yang berani berteriak nasionalisasi perusahaan AS itu. “Mereka pun memainkan isu separatisme Papua,” lanjut Herman.
Pihak asing, dalam hal ini AS dan sekutunya, sengaja membiarkan isu separatisme Papua tetap ada. Kalau pun ada kepentingan masyarakat di sana yang merasa diberlakukan tidak adil dan berbeda ras dengan masyarakat Indonesia kebanyakan, hal itu sudah ditunggangi.
“Kita juga tak pernah pandai mendekati masyarakat Papua,” tambahnya lagi.
Pemerintah Indonesia juga dinilai terlalu lemah menghadapi konspirasi asing ini. Hal tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh mereka untuk secara terus-menerus menekan bangsa kita agar tetap tunduk dan memenuhi keinginan mereka.
“Inilah pemerintah kita yang selalu mengekor pada kepentingan global. Pemerintah yang menuruti kepentingan zionis internasional,” tegasnya.
Menanggapi surat 40 anggota Kongres AS yang meminta pembebasan dua tokoh OPM, Herman menyayangkan sikap pemerintah yang tak menampakkan ketegasannya. “Seharusnya SBY dapat meyakinkan rakyatnya bahwa pemerintah tak bisa diintervensi,” ungkap Herman.
Sayangnya, pemerintah justru lambat merespon dengan alasan surat tersebut belum sampai. “Mensesneg bilang suratnya belum diterima Sesneg. Padahal seharusnya soal administratif seperti ini tak perlu dipermasalahkan. Presiden mestinya bisa menjawab dengan jawaban politik,” pungkasnya. [ihsan/www.suara-islam.com]
“Setelah Aceh, Papua menjadi isu daya tawar pihak asing. Mereka dalam hal ini tidak ingin melepas SDA di sana,” ujar pengamat intelejen Y. Herman Ibrahim pada Suara Islam, Senin (11/8). Herman menambahkan, dalam setiap aktivitas politik selalu tak pernah ada yang benar-benar murni keinginan satu kelompok semata. Dalam kasus Papua, keterlibatan pihak asing memang tercium sangat kuat.
Apalagi saat ini bangsa kita sedang bersiap-siap menghadapi Pemilu 2009. Banyak calon Presiden yang berbicara soal peninjauan ulang kontrak kerja dengan PT Freeport di Papua. Bahkan, ada pula yang berani berteriak nasionalisasi perusahaan AS itu. “Mereka pun memainkan isu separatisme Papua,” lanjut Herman.
Pihak asing, dalam hal ini AS dan sekutunya, sengaja membiarkan isu separatisme Papua tetap ada. Kalau pun ada kepentingan masyarakat di sana yang merasa diberlakukan tidak adil dan berbeda ras dengan masyarakat Indonesia kebanyakan, hal itu sudah ditunggangi.
“Kita juga tak pernah pandai mendekati masyarakat Papua,” tambahnya lagi.
Pemerintah Indonesia juga dinilai terlalu lemah menghadapi konspirasi asing ini. Hal tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh mereka untuk secara terus-menerus menekan bangsa kita agar tetap tunduk dan memenuhi keinginan mereka.
“Inilah pemerintah kita yang selalu mengekor pada kepentingan global. Pemerintah yang menuruti kepentingan zionis internasional,” tegasnya.
Menanggapi surat 40 anggota Kongres AS yang meminta pembebasan dua tokoh OPM, Herman menyayangkan sikap pemerintah yang tak menampakkan ketegasannya. “Seharusnya SBY dapat meyakinkan rakyatnya bahwa pemerintah tak bisa diintervensi,” ungkap Herman.
Sayangnya, pemerintah justru lambat merespon dengan alasan surat tersebut belum sampai. “Mensesneg bilang suratnya belum diterima Sesneg. Padahal seharusnya soal administratif seperti ini tak perlu dipermasalahkan. Presiden mestinya bisa menjawab dengan jawaban politik,” pungkasnya. [ihsan/www.suara-islam.com]
0 komentar:
Posting Komentar