Tabloid SUARA ISLAM EDISI 48, Tanggal 18 - 31 Juli 2008 M/15 - 31 Rajab 1429 HIntervensi asing kian hari kian tampak. Simbiosis kekuatan dari luar dan dari dalam mencoba mengarahkan perjalanan bangsa ke arah kehancuran. Ada konspirasi di dalamnya?
Kasus Munir memasuki babak baru. Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono ditangkap polisi 19 Juni lalu. Ia didakwa terlibat kasus pem-bunuhan Munir. Banyak pihak berharap tertangkapnya Muchdi bisa menguak misteri yang sudah sekitar 4 tahun tertutup, siapa di balik pembunuhan Munir.
Pengadilan telah menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda. Namun vonis tersebut belum mengungkap secara gamblang skenario besar di balik pem-bunuhan itu. Masih banyak pertanyaan yang muncul. Benarkah pembunuhan itu atas perintah Muchdi sendiri atau dia bekerja dengan kelompoknya sendiri, ada institusi lain yang terlibat, atau ada kekuasaan yang lebih besar yang meme-rintahkan, sampai adakah permainan asing dalam skenarionya. Banyak pihak berharap pengadilan terdakwa Muchdi akan menjawabnya. Soalnya kasus ini berlarut-larut dan memunculkan campur tangan asing yang begitu kuat.
Namun ada juga yang pesimis kasus pembunuhan aktivis HAM itu menjadi terang benderang. Siapa operator kasus ini dinilai tetap suram.
Pengamat intelijen AC Manullang menilai penangkapan itu tergolong luar biasa. ''Apa yang dinamakan unsolved political cricis mulai muncul," kata mantan Direktur Bakin tersebut. Ia yakin Muchdi tidak akan 'nyanyi' yang meli-batkan lembaganya itu. "Jangan dipaksa dia untuk menceritakan yang mengada-ada. Tidak mungkin ia akan beberkan, sampai mati sekali pun. Dia itu orang intelijen. Tidak bisa intelijen beberkan aksi intelijen," ujarnya seperti dikutip sebuah situs berita.
Manullang yakin, BIN hanya kambing hitam. Ia menduga kasus Munir meli-batkan agen intelijen yang lebih besar mengingat Munir tewas diracun di dalam pesawat dan yang mengherankan pene-litian racun di tubuh Munir dilakukan di Belanda, bukan di Indonesia. "Kalau intelijen lokal tidak usah jauh-jauh membungkam Munir di pesawat menuju Eropa, di dalam negeri juga bisa. Ini (pembunuhan) bisa terjadi karena aksi intelijen yang canggih," ujarnya.
Kasus Munir, lanjutnya, menyangkut grand design besar dari pihak asing, terutama AS dan Australia. Dengan menggulirkan kasus ini ke isu HAM, jelas sasaran tembaknya adalah untuk me-mojokkan TNI. "Kenapa TNI harus dipojokkan, karena awal-awal TNI AD-lah yang paling solid untuk memimpin Indo-nesia. Jadi unsur politiknya juga kental. Asing maunya pemimpin yang mau meng-ikuti aturan main neokolonialisme dan neoliberalisme," ujarnya.
Kasus Munir memang telah menjadi kasus internasional. Sampai-sampai pa-da sebanyak 50 anggota Kongres AS mengirim surat kepada Presiden SBY perihal kasus Munir pada 27 Oktober 2005. Mereka bilang, Kongres AS peduli terhadap HAM dan menaruh perhatian pada pembunuhan dan investigasi kasus Munir. Mereka juga mendukung ter-bentuknya tim pencari fakta (TPF) kasus Munir. Internasionalisasi ini kian kentara setelah istri Munir, Suciwati, berkunjung ke AS pada Oktober 2006. AS langsung beraksi. Duta Besar AS untuk Indonesia, B Lynn Pascoe, pada 12 Oktober 2006 menyatakan bahwa AS menyayangkan bahwa tak seorang pun dijatuhi hukuman atas kasus pembunuhan Munir. Pada 3 November 2006, dalam surat yang ditan-datangani empat anggota Kongres AS, dinyatakan bahwa Kongres AS menya-takan kecewa karena penanganan kasus pembunuhan Munir "berjalan di tempat". Eropa pun tak ketinggalan. Ketua Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso, pun mena-nyakan kasus ini kepada Presiden SBY saat KTT ASEM di Finlandia, September 2006. Suciwati pun terus keliling ke Belgia, Kanada, Australia, dan Belanda. Tak cukup itu, Suciwati pun ke PBB.
Pada 10 Juni 2006 Sekretaris Jenderal PBB, Hina Jilani, ke kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Keke-rasan (Kontras) di Jakarta, Sabtu (9/6/2007). Jilani mengunjungi Kontras untuk mencari data terbaru kasus Munir. Kedatangan Jilani dianggap sebagai tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus ini. Bagai-mana tidak, kasus kematian satu orang ini seolah menjadi lebih penting dari kema-tian ribuan orang Muslim yang terjadi di Indonesia sebelumnya. Ingat kasus Ambon, Halmahera, Poso, dan sebagai-nya. Tidak ada kepedulian sedikitpun dari lembaga-lembaga yang katanya membela HAM. Bahkan sekitar 650 ribu orang Irak yang mati di depan mata mereka, Barat tak peduli dan seolah menutup mata.
Intervensi
Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia menunjukkan negeri ini tak lagi memiliki kedaulatan sebagai sebuah negara. Banyak tangan asing begitu mudahnya mendikte pemerintah, bahkan langsung bermain sendiri di tengah-tengah masyarakat. Malah banyak lem-baga lokal yang bekerja untuk kepen-tingan orang asing karena kepentingan perut.
Intervensi asing di Indonesia ini tidak lepas dari upaya untuk melemahkan Indonesia. Pengamat intelijen Wawan Purwanto menduga, intervensi asing da-lam kasus Munir, misalnya, dimaksudkan untuk melemahkan intelijen Indonesia. ''Setelah TNI dan Polri, yang dibidik selanjutnya adalah intelijen,'' katanya. Menurutnya, TNI, Polri, dan intelijen adalah tulang punggung pertahanan dan keamanan nasional Indonesia.
Memang, selama ini sasaran inter-vensi tersebut masih bersifat personal, belum institusi. ''Tapi sebenarnya, sasarannya adalah ke sana (institusi),'' katanya.
Wawan mengatakan, Indonesia ada-lah negara besar. Kekuatan asing tidak ingin Indonesia ini kuat karena bisa membahayakan mereka. Maka mereka berusaha dengan berbagai cara agar Indonesia lemah. Wujudnya adalah me-munculkan konflik-konflik horizontal. Asing bisa menggunakan tangan siapa saja yang bisa dibenturkan. ''Yang bisa dibenturkan, dibenturkan. Makanya ja-ngan mudah terpancing dan ter-provokasi,'' tandasnya.
Bahkan upaya asing itu tidak hanya ingin melemahkan Indonesia, malah ingin memecah belah Indonesia menjadi negara-negara kecil. Niat jahat itu terlontar di berbagai pertemuan inter-nasional di luar negeri. ''Saya mendengar sendiri. Itu riil ada,'' tandasnya. Mereka, kata Wawan, menghitung panjang Indo-nesia itu mulai dari London hingga Bagdad di mana itu terdiri atas lebih dari enam negara. Sementara Indonesia hanya sendiri (satu kesatuan). Mereka meng-anggap Indonesia terlalu besar. Proses Balkanisasi bukan tidak mungkin akan terjadi jika Indonesia semakin hari kian lemah karena diobok-obok asing dan antek-anteknya di negeri ini. ''Kalau ini (Balkanisasi-red) dikampanyekan terus, kita bisa bubar. Makanya kita harus meningkatkan terus kekuatan ekonomi dan rasa kebangsaan kita,'' tandasnya.
Kaki Tangan
Asing tidak bekerja sendiri di Indo-nesia. Mereka memiliki kaki tangan yang bekerja sesuai pesanan tuan-tuannya. Mantan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Munarman mengungkapkan, hampir semua sektor telah dimasuki oleh agen-agen asing. Mereka bekerja dengan sangat sistematis. Di bidang ekonomi, misalnya ada Mafia Berkeley. Ada lembaga-lem-baga kajian politik dan pemerintahan, sosial, kebudayaan, hingga lembaga kajian keagamaan. Ada yang berupa institusi resmi atau sekadar kelompok masyarakat.
Keberadaan lembaga swadaya masya-rakat (LSM) pun tak luput dari intervensi asing ini. Kebanyakan mereka hidup dari dana asing. Malah data dari Departeman Dalam Negeri pernah menyebut 90 persen LSM hidup dari donor luar negeri. Maka, sangat mungkin mereka bekerja bagi kepentingan yang membiayainya. ''Kan tidak ada makan siang yang gratis,'' kata Wawan. Mereka bergerak sesuai dengan pesanan dan skenario yang telah disiapkan.
Satu di antara lembaga yang mem-punyai andil besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies). LSM yang didirikan tahun 1971 ini merupakan think tank kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru di bawah Soeharto. Pendirinya antara lain Ali Moertopo, Soedjono Humardhani, Harry Tjan Silalahi, Josephus Beek, dan Daoed Joesoef. Tokohnya sekarang seperti M Hadi Soesastro, Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie), Marie Elka Pangestu, Indra J Piliang,dan J Kristiadi. Mereka sangat berkuasa pada masa Orde Baru. Orang-orangnya duduk di pemerintahan dan militer, sebut saja antara lain JB Sumarlin, Benny Murdani, Ali Moertopo, Daoed Joesoef, dan lainnya. Bahkan keberadaan kelompok CSIS ini masih eksis sampai sekarang di berbagai sektor penting. Pengaruhnya masih cukup besar. Ini tidak lepas dari adanya dukungan dana dari luar negeri.
Begitu mengakarnya pengaruh mere-ka, hampir semua rezim pasti mem-perhatikan masukan-masukan kelompok ini. Di era Soeharto justru mereka inilah yang menyusun Master Plan Pem-bangunan Bangsa Indonesia. Di dalam-nya, menurut almarhum Hussein Umar, terkandung strategi untuk melemahkan Islam Indonesia.
Bahkan mereka pula yang menen-tukan siapa yang harus memimpin Indonesia. Munarnan, mantan Direktur YLBHI, menceritakan menjelang Pemilu Presiden 2004, CSIS mengumpulkan LSM-LSM berpengaruh di Indonesia di kantor CSIS Tanah Abang. Banyak perwakilan LSM yang hadir termasuk organisasi kepemudaan Islam seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan IPM (Ikatan Pemuda Muhammadiyah). Rapat itu dipimpin oleh Jusuf Wanandi dan Hadi Soesastro. Dua tokoh ini belakangan diketahui masuk dalam daftar anggota Trilateral Commission, sebuah organisasi yang terkait dengan jaringan Yahudi inter-nasional (Freemansonry) yang ingin menjadikan dunia dalam genggaman mereka.
Pertemuan itu, lanjut Munarman, membahas siapa presiden yang tepat bagi Indonesia. Megawati dianggap tidak layak untuk menjadi presiden lagi karena dianggap tidak ada kemajuan. ''Kita harus ada strong government,'' kata salah satu dari keduanya. Selanjutnya Hadi Soe-sastro mempertanyakan kepada para aktivis LSM dan pemuda. ''You mau dipimpin oleh Wiranto, karena kalau ke luar negeri dia langsung ditangkap setiap saat oleh polisi internasional? Ini kan bisa memalukan bangsa,'' kata Munarman menirukan Hadi.
Karena rapat tidak memunculkan kesepakatan, siapa yang tepat dipilih jadi presiden, maka Jusuf Wanandi langsung mengambil inisiatif untuk menyebut langsung presiden yang harus didukung, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Dia meminta SBY didukung, minimal dia tidak diserang selama proses pemilu presiden. Namun ada empat orang waktu itu yang menolak yakni Munarman, Munir, Rachland Nashidik, dan Rizal Sukma. Mereka menolak mendukung militer dengan alasan saat itu adalah eranya sipil. Justru akhirnya diketahui Munir menjadi juru kampanye Amien Rais.
Seperti main bola, telah terjadi pembagian posisi antara antek-antek asing di Indonesia. Abdurrahman Wahid menjadi pemain di bidang sosial keagamaan. Tak mengagetkan bila Gus Dur mendapat hadiah Medal of Valor (Medali Keberanian) dari Shimon Wiesenthal Center (SWC) di Los Angeles, AS. Kedatangannya ke sana sekaligus ikut merayakan hari kemerdekaan Israel. Gus Dur dianggap sebagai sahabat paling setia dan paling berani terang-terangan men-jadi pelindung kaum Zionis-Yahudi dunia di sebuah negeri mayoritas Muslim terbesar seperti Indonesia. Selain hadiah medali mantan presiden RI ini mem-peroleh sejumlah uang.
Sebelumnya, kaum jaringan Yahudi juga memberikan hadiah kepada Goe-nawan Mohamad, bos media Tempo, sekaligus gembong kelompok liberal di Indonesia. April lalu GM, begitu dia biasa disebut, menerima penghargaan 'Dan David Prize' oleh Tel Aviv University. Penghargaan itu didasarkan kepada aktivitas Goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebas-an pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Bersama itu dia memperoleh uang senilai 250 ribu dolar AS (sekitar Rp 2,3 milyar). Sebe-lumnya pada tahun 1992 ia sempat dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw dari Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1998, dia menerima penghargaan internasional dalam hal Kebebasan Pers dari Komite Pelindung Jurnalis. Setahun kemudian, dia menerima penghargaan dari World Press Review, Amerika Seri-kat, untuk kategori Editor Internasional. Menurut sumber Suara Islam, dia adalah agen utama Amerika di Indonesia.
Melalui media Tempo yang dimili-kinya, Goenawan sukses menggerakkan proses sekularisasi di Indonesia. Dia berperan besar 'membesarkan' Abdur-rahman Wahid dan Nurcholis Madjid, sebagai lokomotif liberalisasi Islam di Indonesia. Kini giliran Ulil Abshar Abdalla cs yang diberi tempat untuk merusak negeri ini. Tokoh-tokoh liberal kemudian berhimpun dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di kalangan LSM, muncul LSM yang menyuarakan kepentingan asing ketim-bang kepentingan nasional. Dulu ada Solidamor (Solidaritas untuk Rakyat Timor Timur) yang sukses memper-juangkan kemerdekaan Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-nesia. Beberapa mantan aktivisnya kini ada di beberapa LSM lainnya dengan suara perjuangan yang berbeda. Seolah mereka tak merasa bersalah mencabik-cabik negeri dia sendiri.
LSM hukum dan HAM yang tam-paknya kini mendapat tempat. The Asia Foundation, Ford Foundation, USAID, AusAID, Yayasan Tifa, dan lembaga dunia lainnya mengucurkan milyaran rupiah untuk mendukung gerakan LSM tersebut. 1 Juni tahun lalu, aliansi LSM hukum dan HAM menulis laporan tentang diskri-minasi rasial di Indonesia. Laporan itu tentu dibuat sebagai laporan bagi pemberi dana (donor). Dalam laporan setebal 62 halaman berjudul: “Breaking the smoke-screen of Racial Discrimination and Im-punity in Indonesia”, mereka melaporkan berbagai diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Di antaranya adalah mun-culnya peraturan daerah yang bernuansa Islam. Misalnya Perda di Bulukumba, Sulawesi Selatan, tentang baca tulis Alquran, Perda pakaian bagi Muslim, dan perda tentang minuman keras. Perda baca tulis Alquran dan miras dianggap melang-gar komunitas Kajang yang suka minum tuak. Mereka seolah menutup mata atas hasil yang dicapai dengan adanya Perda tersebut di Bulukumba.
Selain itu, dalam laporannya, aliansi LSM di antaranya Elsam, Kontras, PHBI, LBH Jakarta, Foker LSM Papua, LAPAR, PIAR NTT, HRWG, GANDI, LADI, PKBH Bengkulu, dan MADIA ini juga menyoroti diskriminasi rasial di Papua. Diskriminasi ini mereka katakan terjadi sejak zaman Belanda, Jepang, hingga sekarang. Orang Papua dikatakan tidak memiliki akses mengatur urusannya misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Program transmigrasi ke Papua juga dikatakan mengusir warga ke gunung-gunung. Mereka juga menentang langkah pemerintah memberantas OPM di Papua.
Pembelaannya terhadap Ahmadiyah juga sangat kentara. Mereka mereko-mendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan Badan Koordinasi Peng-awas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Lembaga ini dianggap tidak memberi jaminan kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan keya-kinannya secara bebas.
Fakta ini, menurut Munarman, me-nunjukkan LSM-LSM itu merancang program berdasarkan program yang ada pada lembaga-lembaga pendanaan atau funding-funding agency. ''Yang sudah tentu lembaga-lembaga itu adalah per-panjangan tangan atau alat dari sebuah pemerintahan global yang dikendalikan Zionisme, Freemansonry dan Illuminati,'' katanya.
Mereka berkoar-koar sebenarnya hanyalah berdasarkan kepentingan. ''Omong kosong kalau tokoh-tokoh itu berbicara tentang kebhinekaan, tentang ke-Indonesiaa atau tentang kebangsaan,'' tandasnya. Mereka ini bekerja karena urusan perut, urusan duit, dan kepentingan asing.
Sesuai dengan agenda kapitalisme global, mereka bergerak untuk melawan siapapun yang berjuang untuk menegak-kan syariat Islam. Tak heran jika mereka menakut-nakuti umat dengan bilang bahwa penerapan syariat Islam akan memecah belah bangsa. Padahal sebenar-nya mereka itulah yang patut diwaspadai karena mereka tidak memiliki jati diri sebagai anak bangsa. Mereka adalah begundal asing untuk menjerumuskan negeri ini ke jurang kehancuran. Di tangan-tangan merekalah, hampir 60 tahun lamanya, Indonesia tetap saja berada dalam kondisi terbelakang. Krisis akibat ideologi kapitalisme-sekuler yang mereka agung-agungkan tak pernah terselesaikan hingga sekarang.
Karena itu, menurut Wawan Pur-wanto, semua elemen masyarakat harus waspada terhadap intervensi asing ini. Keutuhan wilayah negeri harus tetap dijaga. Dan itu, kata Munarman, bisa dijaga dengan penerapan syariat Islam, karena tidak ada agenda satupun dari penegakan syariat Islam untuk memecah belah NKRI. Justru dengan syariat Islam NKRI makin kuat, berkah, dan berwibawa. Insyaallah. [mujiyanto/www.suara-islam.com]
Kasus Munir memasuki babak baru. Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono ditangkap polisi 19 Juni lalu. Ia didakwa terlibat kasus pem-bunuhan Munir. Banyak pihak berharap tertangkapnya Muchdi bisa menguak misteri yang sudah sekitar 4 tahun tertutup, siapa di balik pembunuhan Munir.
Pengadilan telah menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda. Namun vonis tersebut belum mengungkap secara gamblang skenario besar di balik pem-bunuhan itu. Masih banyak pertanyaan yang muncul. Benarkah pembunuhan itu atas perintah Muchdi sendiri atau dia bekerja dengan kelompoknya sendiri, ada institusi lain yang terlibat, atau ada kekuasaan yang lebih besar yang meme-rintahkan, sampai adakah permainan asing dalam skenarionya. Banyak pihak berharap pengadilan terdakwa Muchdi akan menjawabnya. Soalnya kasus ini berlarut-larut dan memunculkan campur tangan asing yang begitu kuat.
Namun ada juga yang pesimis kasus pembunuhan aktivis HAM itu menjadi terang benderang. Siapa operator kasus ini dinilai tetap suram.
Pengamat intelijen AC Manullang menilai penangkapan itu tergolong luar biasa. ''Apa yang dinamakan unsolved political cricis mulai muncul," kata mantan Direktur Bakin tersebut. Ia yakin Muchdi tidak akan 'nyanyi' yang meli-batkan lembaganya itu. "Jangan dipaksa dia untuk menceritakan yang mengada-ada. Tidak mungkin ia akan beberkan, sampai mati sekali pun. Dia itu orang intelijen. Tidak bisa intelijen beberkan aksi intelijen," ujarnya seperti dikutip sebuah situs berita.
Manullang yakin, BIN hanya kambing hitam. Ia menduga kasus Munir meli-batkan agen intelijen yang lebih besar mengingat Munir tewas diracun di dalam pesawat dan yang mengherankan pene-litian racun di tubuh Munir dilakukan di Belanda, bukan di Indonesia. "Kalau intelijen lokal tidak usah jauh-jauh membungkam Munir di pesawat menuju Eropa, di dalam negeri juga bisa. Ini (pembunuhan) bisa terjadi karena aksi intelijen yang canggih," ujarnya.
Kasus Munir, lanjutnya, menyangkut grand design besar dari pihak asing, terutama AS dan Australia. Dengan menggulirkan kasus ini ke isu HAM, jelas sasaran tembaknya adalah untuk me-mojokkan TNI. "Kenapa TNI harus dipojokkan, karena awal-awal TNI AD-lah yang paling solid untuk memimpin Indo-nesia. Jadi unsur politiknya juga kental. Asing maunya pemimpin yang mau meng-ikuti aturan main neokolonialisme dan neoliberalisme," ujarnya.
Kasus Munir memang telah menjadi kasus internasional. Sampai-sampai pa-da sebanyak 50 anggota Kongres AS mengirim surat kepada Presiden SBY perihal kasus Munir pada 27 Oktober 2005. Mereka bilang, Kongres AS peduli terhadap HAM dan menaruh perhatian pada pembunuhan dan investigasi kasus Munir. Mereka juga mendukung ter-bentuknya tim pencari fakta (TPF) kasus Munir. Internasionalisasi ini kian kentara setelah istri Munir, Suciwati, berkunjung ke AS pada Oktober 2006. AS langsung beraksi. Duta Besar AS untuk Indonesia, B Lynn Pascoe, pada 12 Oktober 2006 menyatakan bahwa AS menyayangkan bahwa tak seorang pun dijatuhi hukuman atas kasus pembunuhan Munir. Pada 3 November 2006, dalam surat yang ditan-datangani empat anggota Kongres AS, dinyatakan bahwa Kongres AS menya-takan kecewa karena penanganan kasus pembunuhan Munir "berjalan di tempat". Eropa pun tak ketinggalan. Ketua Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso, pun mena-nyakan kasus ini kepada Presiden SBY saat KTT ASEM di Finlandia, September 2006. Suciwati pun terus keliling ke Belgia, Kanada, Australia, dan Belanda. Tak cukup itu, Suciwati pun ke PBB.
Pada 10 Juni 2006 Sekretaris Jenderal PBB, Hina Jilani, ke kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Keke-rasan (Kontras) di Jakarta, Sabtu (9/6/2007). Jilani mengunjungi Kontras untuk mencari data terbaru kasus Munir. Kedatangan Jilani dianggap sebagai tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus ini. Bagai-mana tidak, kasus kematian satu orang ini seolah menjadi lebih penting dari kema-tian ribuan orang Muslim yang terjadi di Indonesia sebelumnya. Ingat kasus Ambon, Halmahera, Poso, dan sebagai-nya. Tidak ada kepedulian sedikitpun dari lembaga-lembaga yang katanya membela HAM. Bahkan sekitar 650 ribu orang Irak yang mati di depan mata mereka, Barat tak peduli dan seolah menutup mata.
Intervensi
Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia menunjukkan negeri ini tak lagi memiliki kedaulatan sebagai sebuah negara. Banyak tangan asing begitu mudahnya mendikte pemerintah, bahkan langsung bermain sendiri di tengah-tengah masyarakat. Malah banyak lem-baga lokal yang bekerja untuk kepen-tingan orang asing karena kepentingan perut.
Intervensi asing di Indonesia ini tidak lepas dari upaya untuk melemahkan Indonesia. Pengamat intelijen Wawan Purwanto menduga, intervensi asing da-lam kasus Munir, misalnya, dimaksudkan untuk melemahkan intelijen Indonesia. ''Setelah TNI dan Polri, yang dibidik selanjutnya adalah intelijen,'' katanya. Menurutnya, TNI, Polri, dan intelijen adalah tulang punggung pertahanan dan keamanan nasional Indonesia.
Memang, selama ini sasaran inter-vensi tersebut masih bersifat personal, belum institusi. ''Tapi sebenarnya, sasarannya adalah ke sana (institusi),'' katanya.
Wawan mengatakan, Indonesia ada-lah negara besar. Kekuatan asing tidak ingin Indonesia ini kuat karena bisa membahayakan mereka. Maka mereka berusaha dengan berbagai cara agar Indonesia lemah. Wujudnya adalah me-munculkan konflik-konflik horizontal. Asing bisa menggunakan tangan siapa saja yang bisa dibenturkan. ''Yang bisa dibenturkan, dibenturkan. Makanya ja-ngan mudah terpancing dan ter-provokasi,'' tandasnya.
Bahkan upaya asing itu tidak hanya ingin melemahkan Indonesia, malah ingin memecah belah Indonesia menjadi negara-negara kecil. Niat jahat itu terlontar di berbagai pertemuan inter-nasional di luar negeri. ''Saya mendengar sendiri. Itu riil ada,'' tandasnya. Mereka, kata Wawan, menghitung panjang Indo-nesia itu mulai dari London hingga Bagdad di mana itu terdiri atas lebih dari enam negara. Sementara Indonesia hanya sendiri (satu kesatuan). Mereka meng-anggap Indonesia terlalu besar. Proses Balkanisasi bukan tidak mungkin akan terjadi jika Indonesia semakin hari kian lemah karena diobok-obok asing dan antek-anteknya di negeri ini. ''Kalau ini (Balkanisasi-red) dikampanyekan terus, kita bisa bubar. Makanya kita harus meningkatkan terus kekuatan ekonomi dan rasa kebangsaan kita,'' tandasnya.
Kaki Tangan
Asing tidak bekerja sendiri di Indo-nesia. Mereka memiliki kaki tangan yang bekerja sesuai pesanan tuan-tuannya. Mantan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Munarman mengungkapkan, hampir semua sektor telah dimasuki oleh agen-agen asing. Mereka bekerja dengan sangat sistematis. Di bidang ekonomi, misalnya ada Mafia Berkeley. Ada lembaga-lem-baga kajian politik dan pemerintahan, sosial, kebudayaan, hingga lembaga kajian keagamaan. Ada yang berupa institusi resmi atau sekadar kelompok masyarakat.
Keberadaan lembaga swadaya masya-rakat (LSM) pun tak luput dari intervensi asing ini. Kebanyakan mereka hidup dari dana asing. Malah data dari Departeman Dalam Negeri pernah menyebut 90 persen LSM hidup dari donor luar negeri. Maka, sangat mungkin mereka bekerja bagi kepentingan yang membiayainya. ''Kan tidak ada makan siang yang gratis,'' kata Wawan. Mereka bergerak sesuai dengan pesanan dan skenario yang telah disiapkan.
Satu di antara lembaga yang mem-punyai andil besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies). LSM yang didirikan tahun 1971 ini merupakan think tank kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru di bawah Soeharto. Pendirinya antara lain Ali Moertopo, Soedjono Humardhani, Harry Tjan Silalahi, Josephus Beek, dan Daoed Joesoef. Tokohnya sekarang seperti M Hadi Soesastro, Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie), Marie Elka Pangestu, Indra J Piliang,dan J Kristiadi. Mereka sangat berkuasa pada masa Orde Baru. Orang-orangnya duduk di pemerintahan dan militer, sebut saja antara lain JB Sumarlin, Benny Murdani, Ali Moertopo, Daoed Joesoef, dan lainnya. Bahkan keberadaan kelompok CSIS ini masih eksis sampai sekarang di berbagai sektor penting. Pengaruhnya masih cukup besar. Ini tidak lepas dari adanya dukungan dana dari luar negeri.
Begitu mengakarnya pengaruh mere-ka, hampir semua rezim pasti mem-perhatikan masukan-masukan kelompok ini. Di era Soeharto justru mereka inilah yang menyusun Master Plan Pem-bangunan Bangsa Indonesia. Di dalam-nya, menurut almarhum Hussein Umar, terkandung strategi untuk melemahkan Islam Indonesia.
Bahkan mereka pula yang menen-tukan siapa yang harus memimpin Indonesia. Munarnan, mantan Direktur YLBHI, menceritakan menjelang Pemilu Presiden 2004, CSIS mengumpulkan LSM-LSM berpengaruh di Indonesia di kantor CSIS Tanah Abang. Banyak perwakilan LSM yang hadir termasuk organisasi kepemudaan Islam seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan IPM (Ikatan Pemuda Muhammadiyah). Rapat itu dipimpin oleh Jusuf Wanandi dan Hadi Soesastro. Dua tokoh ini belakangan diketahui masuk dalam daftar anggota Trilateral Commission, sebuah organisasi yang terkait dengan jaringan Yahudi inter-nasional (Freemansonry) yang ingin menjadikan dunia dalam genggaman mereka.
Pertemuan itu, lanjut Munarman, membahas siapa presiden yang tepat bagi Indonesia. Megawati dianggap tidak layak untuk menjadi presiden lagi karena dianggap tidak ada kemajuan. ''Kita harus ada strong government,'' kata salah satu dari keduanya. Selanjutnya Hadi Soe-sastro mempertanyakan kepada para aktivis LSM dan pemuda. ''You mau dipimpin oleh Wiranto, karena kalau ke luar negeri dia langsung ditangkap setiap saat oleh polisi internasional? Ini kan bisa memalukan bangsa,'' kata Munarman menirukan Hadi.
Karena rapat tidak memunculkan kesepakatan, siapa yang tepat dipilih jadi presiden, maka Jusuf Wanandi langsung mengambil inisiatif untuk menyebut langsung presiden yang harus didukung, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Dia meminta SBY didukung, minimal dia tidak diserang selama proses pemilu presiden. Namun ada empat orang waktu itu yang menolak yakni Munarman, Munir, Rachland Nashidik, dan Rizal Sukma. Mereka menolak mendukung militer dengan alasan saat itu adalah eranya sipil. Justru akhirnya diketahui Munir menjadi juru kampanye Amien Rais.
Seperti main bola, telah terjadi pembagian posisi antara antek-antek asing di Indonesia. Abdurrahman Wahid menjadi pemain di bidang sosial keagamaan. Tak mengagetkan bila Gus Dur mendapat hadiah Medal of Valor (Medali Keberanian) dari Shimon Wiesenthal Center (SWC) di Los Angeles, AS. Kedatangannya ke sana sekaligus ikut merayakan hari kemerdekaan Israel. Gus Dur dianggap sebagai sahabat paling setia dan paling berani terang-terangan men-jadi pelindung kaum Zionis-Yahudi dunia di sebuah negeri mayoritas Muslim terbesar seperti Indonesia. Selain hadiah medali mantan presiden RI ini mem-peroleh sejumlah uang.
Sebelumnya, kaum jaringan Yahudi juga memberikan hadiah kepada Goe-nawan Mohamad, bos media Tempo, sekaligus gembong kelompok liberal di Indonesia. April lalu GM, begitu dia biasa disebut, menerima penghargaan 'Dan David Prize' oleh Tel Aviv University. Penghargaan itu didasarkan kepada aktivitas Goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebas-an pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Bersama itu dia memperoleh uang senilai 250 ribu dolar AS (sekitar Rp 2,3 milyar). Sebe-lumnya pada tahun 1992 ia sempat dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw dari Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1998, dia menerima penghargaan internasional dalam hal Kebebasan Pers dari Komite Pelindung Jurnalis. Setahun kemudian, dia menerima penghargaan dari World Press Review, Amerika Seri-kat, untuk kategori Editor Internasional. Menurut sumber Suara Islam, dia adalah agen utama Amerika di Indonesia.
Melalui media Tempo yang dimili-kinya, Goenawan sukses menggerakkan proses sekularisasi di Indonesia. Dia berperan besar 'membesarkan' Abdur-rahman Wahid dan Nurcholis Madjid, sebagai lokomotif liberalisasi Islam di Indonesia. Kini giliran Ulil Abshar Abdalla cs yang diberi tempat untuk merusak negeri ini. Tokoh-tokoh liberal kemudian berhimpun dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di kalangan LSM, muncul LSM yang menyuarakan kepentingan asing ketim-bang kepentingan nasional. Dulu ada Solidamor (Solidaritas untuk Rakyat Timor Timur) yang sukses memper-juangkan kemerdekaan Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-nesia. Beberapa mantan aktivisnya kini ada di beberapa LSM lainnya dengan suara perjuangan yang berbeda. Seolah mereka tak merasa bersalah mencabik-cabik negeri dia sendiri.
LSM hukum dan HAM yang tam-paknya kini mendapat tempat. The Asia Foundation, Ford Foundation, USAID, AusAID, Yayasan Tifa, dan lembaga dunia lainnya mengucurkan milyaran rupiah untuk mendukung gerakan LSM tersebut. 1 Juni tahun lalu, aliansi LSM hukum dan HAM menulis laporan tentang diskri-minasi rasial di Indonesia. Laporan itu tentu dibuat sebagai laporan bagi pemberi dana (donor). Dalam laporan setebal 62 halaman berjudul: “Breaking the smoke-screen of Racial Discrimination and Im-punity in Indonesia”, mereka melaporkan berbagai diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Di antaranya adalah mun-culnya peraturan daerah yang bernuansa Islam. Misalnya Perda di Bulukumba, Sulawesi Selatan, tentang baca tulis Alquran, Perda pakaian bagi Muslim, dan perda tentang minuman keras. Perda baca tulis Alquran dan miras dianggap melang-gar komunitas Kajang yang suka minum tuak. Mereka seolah menutup mata atas hasil yang dicapai dengan adanya Perda tersebut di Bulukumba.
Selain itu, dalam laporannya, aliansi LSM di antaranya Elsam, Kontras, PHBI, LBH Jakarta, Foker LSM Papua, LAPAR, PIAR NTT, HRWG, GANDI, LADI, PKBH Bengkulu, dan MADIA ini juga menyoroti diskriminasi rasial di Papua. Diskriminasi ini mereka katakan terjadi sejak zaman Belanda, Jepang, hingga sekarang. Orang Papua dikatakan tidak memiliki akses mengatur urusannya misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Program transmigrasi ke Papua juga dikatakan mengusir warga ke gunung-gunung. Mereka juga menentang langkah pemerintah memberantas OPM di Papua.
Pembelaannya terhadap Ahmadiyah juga sangat kentara. Mereka mereko-mendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan Badan Koordinasi Peng-awas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Lembaga ini dianggap tidak memberi jaminan kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan keya-kinannya secara bebas.
Fakta ini, menurut Munarman, me-nunjukkan LSM-LSM itu merancang program berdasarkan program yang ada pada lembaga-lembaga pendanaan atau funding-funding agency. ''Yang sudah tentu lembaga-lembaga itu adalah per-panjangan tangan atau alat dari sebuah pemerintahan global yang dikendalikan Zionisme, Freemansonry dan Illuminati,'' katanya.
Mereka berkoar-koar sebenarnya hanyalah berdasarkan kepentingan. ''Omong kosong kalau tokoh-tokoh itu berbicara tentang kebhinekaan, tentang ke-Indonesiaa atau tentang kebangsaan,'' tandasnya. Mereka ini bekerja karena urusan perut, urusan duit, dan kepentingan asing.
Sesuai dengan agenda kapitalisme global, mereka bergerak untuk melawan siapapun yang berjuang untuk menegak-kan syariat Islam. Tak heran jika mereka menakut-nakuti umat dengan bilang bahwa penerapan syariat Islam akan memecah belah bangsa. Padahal sebenar-nya mereka itulah yang patut diwaspadai karena mereka tidak memiliki jati diri sebagai anak bangsa. Mereka adalah begundal asing untuk menjerumuskan negeri ini ke jurang kehancuran. Di tangan-tangan merekalah, hampir 60 tahun lamanya, Indonesia tetap saja berada dalam kondisi terbelakang. Krisis akibat ideologi kapitalisme-sekuler yang mereka agung-agungkan tak pernah terselesaikan hingga sekarang.
Karena itu, menurut Wawan Pur-wanto, semua elemen masyarakat harus waspada terhadap intervensi asing ini. Keutuhan wilayah negeri harus tetap dijaga. Dan itu, kata Munarman, bisa dijaga dengan penerapan syariat Islam, karena tidak ada agenda satupun dari penegakan syariat Islam untuk memecah belah NKRI. Justru dengan syariat Islam NKRI makin kuat, berkah, dan berwibawa. Insyaallah. [mujiyanto/www.suara-islam.com]
0 komentar:
Posting Komentar